Pengalaman Pertama Kali Menjadi JBI di Masjid UIN Sunan Kalijaga


Melalui bahasa isyarat, semua maksud tersampaikan tersirat. Apa yang aku impikan kemarin akhirnya tercapai, sebagai bentuk permulaan dan semoga bisa berkelanjutan. Tanggal 23 September 2022, bertempat di Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atau biasa disebut laboratorium agama, aku mendapatkan ‘Accession’ sebagai lompatan pertama dalam menjadi juru bahasa isyarat.

Sebenarnya kurang tepat kalau disebut lompatan pertama, tetapi lompatan ketiga karena pengalaman menjadi JBI (Juru Bahasa Isyarat) dalam konteks ini adalah ketiga kalinya. Pengalaman pertama sudah jelas tertulis di postingan blog sebelumnya, pengalaman kedua tidak terdokumentasikan, nah untuk yang ketiga ini baru benar mengena. Berdiri di hadapan Jemaah sholat Jum’at, aku memeragakan maksud apa yang disampaikan oleh khotib supaya jemaah Tuli dapat terbantu dan juga mengerti akan isi khutbah jum’at yang disampaikan oleh beliau, tentunya melalui isyarat.


Keinginan untuk menjadi penerjemah sudah menjadi tujuan semenjak dua tahun lalu, tepatnya ketika semester dua (sebelum masa kuliah daring menyerang). Keinginan tersebut didasari karena rasa penasaran dan sebagai media utama untuk aku berkomunikasi dengan teman Tuli satu kelas, namun keinginan tersebut belum segera terwujud dan menunggu selama empat semester lamanya. Hal ini karena kurangnya tempat sekaligus waktu untuk melatih diri berbahasa isyarat dengan teman-teman Tuli. Alasan utama adalah karena daring, apalagi kalau bukan itu? Meskipun keterbatasan tersebut dapat ditambal dengan video call tetapi koneksi yang seharusnya menjembatani malah bikin emosi, sehingga pesan yang berlalu-lalang disampaikan dengan kualitas seperti video 3gp.

“Setelah KKN, aku akan menekuni kembali kemampuan berbahasa isyarat! Menjalin kembali relasi dengan para Tuli, menambah teman Tuli baru, dan seterusnya!” Tutur aku dalam hati saat KKN mendekati pekan terakhir pengabdian.

Dan pada kenyataannya memang iya, aku lakukan. Terlebih di semester 7 kondisi sudah bebas teori tinggal menunggu magang a.k.a PPL dan skripsi —ya untuk skripsi, aku berencana tidak memulai di semester ini. Ada alasannya, akan aku papar-jelaskan kapan-kapan. Sedangkan untuk bebas teori bisa diartikan kondisi di mana mata kuliah teori dasar/wajib sudah terlaksana sehingga kondisi ‘kekosongan’ ini dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk mengambil magang atau skripsi (untuk magang, tergantung dari prodinya). Apapun itu istilahnya, adek saya menyebutnya “Kondisi nganggur.”.

Pelaksanaan PPL dimulai pada tanggal 10 Oktober, sedangkan KKN usai pada tanggal 19 Agustus. Terbayang jelas lebih dari satu bulan kosong! Apa yang aku lakukan untuk menyibukkan diri mengisi kekosongan tersebut? Ya, jawabannya adalah mengambil jadwal pendampingan. Sampai saat ini aku masih seorang relawan PLD, seorang notetaker yakni mereka yang membantu menuliskan catatan atau pemaparan materi dari dosen kepada para mahasiswa difabel. Terhitung semenjak semester lima, aku mulai jarang mengambil jadwal pendampingan notetaker dikarenakan adanya kesibukan berupa praktikum (mata kuliah: Manajemen Perpustakaan) dan ‘kesibukan lainnya’. Kekosongan mengambil jadwal pendampingan berlangsung sampai KKN, artinya hampir satu tahun komunikasi antar sesama relawan dan mahasiswa difabel mulai renggang karena jarang bertemu, mengobrol, atau mampir (paling sebentar). Maka dari itu pada semester 7 ini, momen kekosongan walau sebentar ini aku gunakan untuk memperbaiki relasi serta mengulas kembali akan kemampuan berbahasa isyarat yang sudah aku tenun sejak menjadi keluarga SUKA sekaligus seorang notetaker.



Kembali lagi pada pengalaman menjadi JBI di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Di antara masjid yang aku ketahui-singgahi, baru masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-lah yang menyediakan akses JBI dalam pemaparan khutbah pada sholat Jum’at. Tugas mereka (JBI) adalah menerjemahkan apa yang disampaikan oleh khotib saat berkhutbah pada pelaksanaan sholat Jum’at. Mereka (para JBI) satu aliansi dengan PLD (Pusat Layanan Difabel), sehingga tidak menutup kemungkinan para relawan lelaki yang memfokuskan diri dalam pelayanan bahasa isyarat pasti akan mendapat giliran. Aku mendafar menjadi relawan secara resmi pada tahun 2019, kemudian mendapatkan tawaran giliran pada tahun 2022. Terhitung lama memang tidak masalah, yang penting impian sudah tercapai.

Lantas, gimana rasanya menerjemahkan khutbah di hadapan orang banyak? Terlebih khutbah Jum’at biasanya dibalut dengan kalimat bahasa Arab, dan istilah keislaman yang pekat. Namanya juga khutbah Jum’at pasti tidak terlepas namanya kalimat-kalimat dari Al Qur’an. Maka dari itu, sebelum pelaksanaan aku menanyakan beberapa istilah keislaman yang sering muncul/digunakan dalam penyampaian khutbah saat maju menjadi JBI dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Tentunya aku menanyakan tersebut kepada mereka para Tuli, dan yang sudah berpengalaman. Isyarat yang aku tanyakan meliputi:

  1. Isyarat Adzan
  2. Isyarat Salam
  3. Isyarat Shalawat
  4. Isyarat Bismillah
  5. Isyarat Hamdalah
  6. Dan isyarat kalimat Arab yang sering diucap kala berdoa lainnya…

Dari sekian isyarat yang aku hafalkan dan pelajari, isyarat adzan adalah paling berat untuk seketika dilakoni. Mengingat kabar aku ditunjuk untuk maju menjadi JBI adalah H-1, tidak ada waktu yang cukup lama untuk melancarkan gerakan isyarat tertentu (khususnya adzan). Mas Zaki, salah satu JBI dan juga relawan PLD menjelaskan untuk gerakan isyarat yang paling banyak dilihat-diperhatikan adalah isyarat adzan. Mengapa begitu? Teoriku mengatakan isyarat adzan dilakukan paling awal dalam praktik pelaksanaan khutbah, dan para jemaat masih dalam keadaan fresh (belum mengantuk) atau katakanlah masih menjadi pusat perhatian. Apalagi jarang masjid yang menyediakan JBI dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Berbeda kalau sudah pertengahan khutbah, aku berprasangka perhatian para Jemaah Dengar tidak lagi tertuju pada sang penerjemah khutbah (JBI). Walau aku tidak bisa menjelaskannya secara detil, namun berdasarkan pengalaman sendiri (menjadi jemaah Dengar) aku hanya memperhatikan JBI-nya ketika awal-awal saja.




Kemudian bila dibandingkan menjadi JBI di suatu acara, dengan khutbah sholat Jum’at manakah yang lebih berat?

Jawabannya tergantung pada materi apa yang disampaikan. Berbeda dengan acara seperti seminar atau kuliah umum (misalnya) di mana materi sudah benar-benar tertera dengan jelas sebagai judul/topik seminar tersebut sehingga JBI dapat mengira-ngira tentang apa yang disampaikan. Plus dalam JBI pada acara seminar, biasanya tidak seorang diri bilamana satu JBI merasa capek maka dapat gantian dengan JBI satunya lagi. Sedangkan JBI khutbah jum’at tidak demikian, ya kali masa yang maju dua orang. Mau tidak mau sang JBI pada khutbah Jum’at harus terus stand-by, memasang telinga, memperhatikan, memparafrase, menerjemahkan khutbah dari awal hingga akhir.

Mengenakan pakaian gelap (hitam), tangan meliuk memiliki maksud dan arti, keringat tidak terasa bercucur di sekujur tangan yang terus gerak kayak orang menari. Mungkin karena pengalaman pertama kali, sehingga gugup sudah pasti nggak bisa dihindari. Tingkat kesulitannya sudah tentu berbeda dengan JBI di acara biasa, dikarenakan JBI khutbah Jum’at pemaparan materi dicampuri bahasa Arab sehingga penerjemah harus dapat memahami arti akan inti yang disampaikan. Belum lagi kalau blunder, nge-blank karena topik yang dijelaskan menyebar sampai ke mana-mana.

Akhir kata, pengalaman menjadi JBI sudah menjadi impian sejak dulu awal maba. Jadi segala rintangan-halangan pasti aku lalui dengan senang hati. Bukan karena hal atau niat lain, melainkan ya karena murni ingin. Nggak bisa diungkapkan melalui kalimat atau kata. Harapan kedepannya dalam menjadi JBI adalah menghafal sebanyak mungkin kosa kata, khususnya perbedaan tiap daerah yang berbeda-beda sehingga dikala dibutuh langsung maju memeragakan isyarat dengan tujuan membantu.


Referensi sebagai penunjang:

https://uin-suka.ac.id/id/page/universitas/92-labagama

CONVERSATION

0 komentar: