Pengalaman Pertama Kali Menjadi JBI di Hadapan Orang Banyak



Memang sebelumnya aku pernah mendapatkan tawaran untuk menjadi juru bahasa isyarat yang intinya adalah menerjemahkan apa saja yang disampaikan oleh seorang (biasanya narasumber) supaya masyarakat tuli atau para hadirin yang tuli dapat memahami apa yang disampaikan, sehingga proses komunikasi yang inklusif pun dapat terjadi. Namun kalau konteks pelaksanaannya dihadapan orang banyak —aku sama sekali belum pernah! Ya, aku seorang relawan dan aku pernah membantu menerjemahkan, tetapi tidak dihadapan orang banyak. Hal ini berarti aku dan partner JBI duduk di paling depan audien kemudian menghadap berlawanan dengan audien yang lain. Mengenakan pakaian gelap (hitam) supaya gerakan isyarat tanganku terlihat.

Berawal dari ajakan, “Fal, besok kamu selo tidak hari Kamis?” Aku sudah tahu, ini berarti ada acara di mana membutuhkan tenaga JBI. Siapa yang mau menolak, terlebih aku memang sudah menantikan hal tersebut. Langsung gas debut.

Awal skenario bertempat di fakultas ‘Sosial Humaniora’ atau biasa disingkat fishum, tempatnya para pelajar perguruan tinggi mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan sosial atau interaksi dengan orang lain. Fakultas tersebut memiliki beberapa jurusan yang berhubungan dengan hal sosial seperti: ilmu komunikasi, sosiologi, psikologi, dan seterusnya (jujur, aku nggak hafal). Intinya fishum mengadakan acara berupa Stadium General (kalau aku menyebutnya kuliah umum, karena pelaksanaannya semua jurusan-kelas dijadikan satu tempat untuk mendengarkan narasumber menyampaikan) yang biasanya hanya dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Ya, tiap ada pelajar perguruan tinggi baru a.k.a maba. Tujuannya (mungkin) untuk sekali lagi memaparkan materi yang berkaitan dengan jurusan atau fakultas yang sedang ditekuni cabang keilmuannya dan sesekali menyampaikan materi yang berhubungan dengan keislaman.

Tahun-tahun kemarin ketika awal maba tentu di fakultas Adab & Ilmu Budaya ada stadium general juga, namun pelaksanaannya di tempat fakultas Adab & Ilmu Budaya sendiri. Untuk fishum pada tahun ini pelaksanaan ‘stadium general’ di gedung Prof Amin Abdullah, aku biasa menyebutnya gedung MP (Multi Purpose) dikarenakan jumlah maba tahun ini tidak memungkinkan untuk ditempatkan fakultas Sosial Humaniora sendiri. Gedung tersebut besar, luas, lebar, ibarat stadium yang kedap suara sehingga kalau mau teriak atau konser, lingkungan sekitar tidak akan terganggu karena memang benar-benar kedap suara.

Tidak masalah mau ditempatkan di mana, namun aku tidak menyangka kalau benar-benar ditempatkan di gedung yang biasanya digunakan untuk acara yang melibatkan puluhan atau ratusan audien. Contoh ketika awal maba, dalam pelaksanaan PBAK kami dikenalkan gedung tersebut sebagai tempat berkumpulnya seluruh maba angkatan tahun 2019. Dan pada tahun ini, aku untuk pertama kalinya (for the first time) duduk mengenakan baju dengan atasan hitam gelap, menghadap berlawanan, dan berusaha fokus untuk memberikan penjelasan yang simpel tetapi padat dan mudah dipahami.


Bagaimana rasanya duduk di paling depan sederet dengan audien?

Bagaimana rasanya menjadi titik perhatian? —karena seorang JBI dalam suatu acara mungkin terlihat asing bagi para maba

Bagaimana rasanya ketika sedang menerjemahkan, menjelaskan suatu hal yang susah diartikan tetapi pembicara menggunakan intonasi layaknya seperti orang berdebat?

Jawaban yang menyimpulkan keseluruhannya adalah campur aduk. Hal tersebut (mungkin) dikarenakan pertama kalinya aku benar-benar menjadi JBI, sedangkan biasanya menjadi pemain cadangan atau backup yang hanya digunakan untuk hal privat. Bukan memang diperlukan dari suatu acara yang sedang atau hendak diikuti.


Sejauh pengalaman yang pernah aku alami, menjadi JBI terkadang bukan dari acara tersebut yang meminta. Melainkan dari tuli secara individu dikarenakan materi yang disampaikan begitu penting sehingga memerlukan penerjemah supaya pemaparan yang disampaikan benar-benar sampai & dipahami oleh tuli (dalam hal ini, para maba misalnya). Karena acara memang tidak menyediakan JBI, maka posisi aku duduk adalah disamping teman tuli tersebut dan bukan duduk di paling depan akibatnya tidak dipungkiri menjadi perhatian.



Acara stadium general yang diadakan oleh fakultas Sosial Humaniora memang dikhususkan untuk para maba angkatan 2022 dengan menyongsong tema “Penguatan Nilai Budaya dan Kepribadian Indonesia Menuju Mahasiswa Unggul Berkarakter Pancasila”. Keren bukan? Dari judul tema kuliah umumnya sudah terlihat benar berbobot. Oleh karena itu, hal yang pertama ingin aku tanyakan kepada partner JBI yang sudah tinggi akan jam terbang adalah menanyakan kosa kata yang masih aku bingungkan.

Namanya kuliah umum, pasti pembicara (narasumber) bukan main-main. Pasti dari seorang tokoh, atau akademisi yang benar-benar memiliki ilmu pengetahuan lagi pengalaman berbobot. Stadium general yang menyongsong inti tema kepribadian akan nilai budaya yang akan dipaparkan oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil. Beliau merupakan guru besar fakultas ilmu budaya dari Universitas Gajah Mada atau biasa disebut UGM.


Seorang dikatakan profesor, sebutan tersebut memiliki makna yang dalam. Disamping seorang disebut profesor karena menyelesaikan banyak sekali studinya atau menuliskan banyak karya & jasa, tetapi seorang tersebut pasti benar-benar kompeten atau pintar akan ilmu pengetahuan yang ditekuni & dipelajari. Buktinya profesor doktor Heddy Shri Ahimsa-Putra telah menyelesaikan banyak sekali studi S1, S2, S3-nya di berbagai tempat belahan dunia sehingga tidak menutup kemungkinan beliau akan menyampaikan materi dengan singkat, cepat, padat, dan yang pasti banyak istilah-istilah asing yang belum aku ketahui.

Fase awal acara, masih berusaha untuk menerjemahkan dan menjelaskan apa maksud dari yang disampaikan oleh pembicara. Mulai dari pembawa acara, sambutan, dan moderator yang menjadi pembuka narasumber berbicara kemudian memancing untuk sesi tanya-jawab. Namun ketika fase inti acara yakni narasumber menyampaikan materi di situlah tingkat fokus-konsentrasi diuji. Terus terang, aku harus membagi tugas antara mendengarkan-menafsirkan-mempresentasikan secara pararel. Belum lagi menjelaskan kalimat atau istilah yang benar-benar asing didengar (aku bahkan asing, apalagi audien lainnya?). Hal tersebut terjadi karena kurangnya penguasaan kosa kata sehingga dalam menerjemah aku harus mencari perumpamaan yang mudah untuk dipahami. Kalau boleh jujur, aku tidak benar-benar menerjemahkan sama persis dengan apa yang disampaikan oleh pak prof narasumber. Kecil kemungkinannya untuk dapat dipahami secara langsung, kecuali kalau audiennya memang benar-benar seorang kutu buku akut yang sudah ‘mencuri start’ membaca hal-hal yang berhubungan dengan sosial-humaniora.

Untungnya partner JBI yang sudah memiliki jam terbang tinggi sehingga dapat mem-backup, tiap 15 menit sekali kami bergantian. Saat partner mengambil giliran, aku berusaha untuk memperhatikan apa yang disampaikan oleh partner. Tentu tujuannya untuk mencari tahu, kosa kata mana yang sulit dan bagaimana dia menjelaskan.

Acara kuliah umum terdiri dari (semoga aku tidak salah, dan valid)

  1. Pembukaan oleh pembawa acara atau MC
  2. Melantunkan lagu Indonesia Raya & Hymne UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
  3. Sambutan oleh dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
  4. Pembukaan oleh moderator
  5. Penyampaian materi oleh narasumber
  6. Sesi tanya jawab
  7. Penutup

Seperti yang sudah aku tuliskan di paragraf sebelumnya, fase inti dimulai no. 4 dari situ benar-benar harus berpikir kritis. Hal tersebut mungkin berbeda dengan JBI yang sudah berpengalaman atau memiliki jam terbang yang tinggi, aku masih pemula, masih perlu banyak revisi dan mencoba.

Tingkat kesulitan (kritis) mulai menurun ketika sampai di sesi tanya jawab (no. 6). Entah kenapa, rasanya ketika mendapat giliran (tiap 15 menit) langsung gas saja tanpa pikir panjang —yang penting menjelaskan inti apa yang disampaikan. Dalam hal ini ‘sesi tanya jawab’ tidak sebelit ketika penyampaian inti materi oleh narasumber. Rasanya tinggal mengalir, menyampaikan ulang, dan seperti mengobrol hanya saja aku (sebagai JBI) banyak menyampaikan informasi dan tuli sebagai komunikan memperhatikan. Plus, di sesi tanya-jawab aku sudah mendapatkan stok kosa kata yang berhubungan atau sering disampaikan dalam materi yang berhubungan dengan Sosial Humaniora sehingga tidak se-shock ketika menerjemah di sesi awalan.

Acara berlangsung kurang lebih hampir tiga jam, dimulai dari pukul 8 pagi sampai 11.30 siang. Cukup lama, —atau memang lama? Tetapi tidak terasa, apakah karena aku tidak benar-benar memperhatikan jam karena terlalu fokus untuk mempresentasikan ulang apa yang disampaikan oleh pembicara? Yah, pokoknya seru dan banyak hikmahnya.

Dari pengalaman tersebut aku belajar bagaimana ber-multitasking yang benar-benar harus fast respon. Memperbanyak pengetahuan kosa-kata supaya dapat beradaptasi sesuai dengan kondisi tipikal tema informasi yang disampaikan untuk diterjemahkan. Paling utama adalah memperbanyak relasi dengan para tuli, adalah paling vital dan harus aku lakukan secara perlahan. Bahasa isyarat adalah cara masyarakat tuli berkomunikasi, untuk mempelajarinya maka diharuskan menimba ilmu secara langsung dari seorang yang memang andil dalam berbahasa isyarat. Ya, para tuli.

Sekali lagi, aku berterima kasih. Sampai bertemu lagi dengan pengalaman selanjutnya. Apakah ini termasuk pencapaian baru? Apapun itu, terima kasih wahai para guru!


Sumber informasi:

Post Instagram undangan Stadium General untuk maba fishum angkatan 2022

 


CONVERSATION

0 komentar: