Halo, bagaimana kabar kalian? Saya berdoa
semoga semua baik-baik saja dan tetap berusaha menjadi yang terbaik
dibandingkan hari-hari sebelumnya. Setelah sekian bulan, sudah lebih dari satu
tahun tidak menorehkan tinta kata, mencurahkan isi pikiran yang dahulu kalau
ada ide langsung saja ditorehkan dalam bentuk satu sampai tiga paragraf walau
ketika dibaca tidak masuk akal atau sulit dipahami. Sekarang mau menulis saja
ketakutan, tidak, sebenarnya 'ketakutan' tersebut untuk menyebunyikan alibi
dari kemalasan untuk berkarya. Namun pengertian 'ketakutan' di sini memang ada
kekhawatiran, kalian yang mengikuti perkembangan berita di internet banyak
orang yang dapat mudah mendapatkan masalah ketika berurusan dengan media sosial
atau katakanlah massa di internet. Boleh jadi karena memang sengaja membuat
masalah, atau digoreng oleh sekelompok orang yang memang tidak suka dengan
pribadi korban tersebut. Ketakutan dan kemalasan akhirnya menjadi kombinasi
yang menyebabkan hiatus lebih dari satu tahun.
Mau coba menulis di media sosial, khawatir.
Mau coba menulis di salah satu platform,
khawatir.
Bukan karena khawatir tulisannya jelek,
melainkan ketika ada yang salah memahami. Walau pada kenyataannya tuh tulisan
yang sudah ter-publish jarang sekali ada yang memperhatikan wkewkwk.
Sekarang menuju ke pembahasan utama. Apakah
ketika memiliki perangkat atau perlengkapan yang bagus, mumpuni, atau bisa
dikatakan perlengkapan tersebut dapat memberikan pengalaman yang bagus dalam
proses berkarya, proses mencurahkan ide? Sebelum melihat situasi saya yang
sekarang, selamat membaca kilas balik saya yang dulu, bisa dikatakan flashback
di sini menjadi alasan mengapa muncul ide menulis ini. Ketika era sebelum
mengenal apa itu namanya Steam, game online atau semacamnya. Era ketika
sedang bermain game, harus memperhatikan waktu untuk menjaga pembayaran agar
tidak kelebihan (bermain di warnet), era ketika berkarya tidak ada ketakutan
sama sekali.
Kilas balik sekitar 6 tahun yang lalu yakni
ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Selama saya masih
berada di pondok pesantren, dahulu saya memiliki pola pikir yang salah, yaitu
menganggap bahwa pondok pesantren merupakan penjara suci yang membungkam atau
membuat potensi anak menjadi terhambat karena adanya tirai atau penghalang yang
disebut aturan. Namun sekarang, pola pikir tersebut saya tarik kembali. Bukan
karena melihat mereka yang dari lulusan pondok pesantren mendapatkan karir yang
sukses, tetapi memang pada dasarnya pondok pesantren bukanlah suatu tempat
penjara, sebaliknya melalui pondok pesantren itulah menjadi tempat untuk
mempersiapkan bekal ketika dewasa kelak. Pada era tersebut, saya tidak memiliki
kebebasan sepenuhnya, berbeda dengan sekarang (berada di kota pelajar, memiliki
kamar sendiri dengan kehidupan serta manajemen keuangan sendiri). Semua serba
keterbatasan (dalam berkarya), bukan karena belum ada teknologi yang rilis
melainkan pada waktu itu saya tidak memiliki kemampuan untuk merasakan atau
bahkan mendapatkan pengalaman yang saya impikan yaitu memiliki perangkat atau
perlengkapan yang mumpuni untuk membuat karya sebanyak-sebebasnya.
Selama menjalani masa-masa remaja, saya
membaca beberapa cerita fiksi. Salah satu cerita fiksi yang ditulis oleh
novelis Jepang yang saya minati ceritanya pada waktu itu adalah Reki Kawahara
dengan judul fenomenalnya di kala itu "Sword Art Online". Alasan
mengapa seminat itu mengikuti cerita fiksi (padahal kalau fiksi, harus banyak
membayangkan. Apalagi fiksi yang dikarang bukan dari pengarang Indonesia) dari
karya Reki Kawahara adalah pembawaan cerita yang (menurutku) menarik dan cara
penggambaran konsep teknologi yang disampaikan dalam cerita. Walaupun konon
sekarang karyanya mulai kurang diminati karena tipikal cerita yang repetitif
hingga mudah ditebak. Namun pada masanya, cerita model fantasi fiksi dengan
memadukan konsep teknologi yang canggih dan (cukup) masuk akal sudah sangat booming banget, sampai memaksakan diri untuk memahami versi translate bahasa
Inggris karena ingin tahu bagaimana kelanjutan serta penasaran bagaimana sih
pembawaan cerita dari novelis Reki Kawahara. Melalui semangat yang didasari
penasaran, didukung dengan jurusan yang saya ambil di jenjang sekolah menengah
atas yaitu jurusan bahasa. Sedikit bercerita (lagi) target jurusan yang hendak
saya ambil adalah IPA supaya kedepannya dapat mendaftar ke jurusan yang
mengarah ke saintek (bukan soshum) sehingga impian dulu menjadi seorang
programmer bisa terarahkan, namun takdir menuntun saya untuk menekani bahasa.
Semenjak menjadi pelajar yang menekuni lingual, saya mengubah pola pikir yang
awalnya logika menjadi sastra yang penuh kiasan dan arti kata.
Oleh karena itu seperti yang saya sampaikan
sebelumnya, semenjak menjadi anak bahasa pada saat itu juga saya mengenal apa
itu metode menulis bebas dan berusaha untuk konsisten menjalankannya walau pada
akhirnya semua manuskrip tersebut entah hilang atau tercecer di mana-mana.
Sampai pada titik terbiasa dengan menulis bebas, mulai merambah ke ranah
menulis cerita pendek hingga cerita dengan alur yang terstruktur walau dengan
penulisan yang 'amburadul'. Terbukti dengan perlengkapan yang seadanya, saya
menulis menggunakan kertas dan pena. Semua manuskrip dihimpun menggunakan media
binder, karena menggunakan pena maka di era tersebut saya sering membeli pena
(antara tinta habis atau tip pena yang macet wkwkw). Tercatat mulai dari kelas
11 kalau tidak salah, saya menulis cerita menggunakan media kertas binder dan
pena sampai akhirnya terbentuk cerita (yang terlalu panjang) sampai saat ini
sudah mencapai arc ketiga, dan... hiatus.
Melihat semua keterbatasan tersebut, kebiasaan
menulis bebas tetap berlangsung tanpa adanya keluhan atau halangan. Jangankan
menulis di tempat tenang, di tengah keramaian pondok pesantren, atau tengah
malam yang sunyi saya sering mengisi waktu untuk mencurahkan ide yang entah
dari mana asal untuk ditulis. Bisa dikatakan pena, kertas, dan papan adalah
barang yang sering menemani saya ketika waktu senggang. Selama pengalaman
menulis menggunakan media apa adanya, tidak sedikit kertas yang dibuang karena
salah menulis. Bisa dibayangkan menulis menggunakan pena kalau sekali coret
salah maka ya sudah. Belum lagi kebisingan atau gangguan yang sering terjadi
membuat saya harus beradaptasi dengan keadaan serta lingkungan.
Sekarang apakah dengan memiliki perangkat yang
mumpuni, ketersediaannya akses serta situasi yang memungkinkan untuk
berkonsentrasi dalam menulis, fasilitas yang begitu semesta mendukung apakah
semua faktor pendukung tersebut dapat membuat seorang yang ingin menulis
menjadi lebih jago dan semangat menulis? Jawaban singkatnya, belum tentu atau
tidak.
Menulis bagi saya merupakan aktivitas yang
memadukan otak, penglihatan mental, serta emosional yang meracik menjadi
semangat untuk bisa, selalu ada ide, dan berani untuk berkarya. Kalau sekarang
ketika ditanyai "mengapa kamu tidak melanjutkan kemampuan tulis-menulis
yang sudah kamu latih sejak era sekolah menengah atas?" Jawabannya banyak,
bukan panjang satu pembahasan melainkan panjang karena banyak alasan. Mulai
dari kesibukan yang sebenarnya disibuk-sibukkan, hingga menggunakan alasan
'banyak gangguan' walau sebenarnya kebiasaan buruk menunda-nunda tersebut
menjadi penyebab utama runtuhnya era semangat dalam berkarya.
Ada juga bukti lain kalau memiliki perangkat
yang bagus tidak menjamin seorang memiliki ide yang berlimpah dan dapat
mencurahkan ide-ide tersebut menjadi sesuatu yang bisa dipahami khalayak banyak
orang. Sekarang saya memiliki perlengkapan yang bisa dibilang, oke. Malah
menurutku oke banget, sangat cukup kalau hanya untuk kegiatan tulis-mengetik.
Namun semangat menulis, ide-ide gila yang dulu setiap saat mengalir, sekarang
hampir sirna atau hanya sebatas impian atau lamunan saja. "Apakah
benar-benar tidak ada kemampuan menulis yang tersisa?", masih ada dan
kemampuan tersebut sering reflek aktif ketika sedang menulis tugas akhir. Namun
kemampuan tulis-mengetik yang seharusnya terus aku kembangkan malah menjadi
hiatus, hingga akhirnya ketika sampai di jenjang akhir kebingungan. Contoh
kejadian yang membuat saya bingung adalah ketika membuat kalimat untuk memulai,
tidak hanya dalam praktik menyusun tugas akhir, sampai ketika menulis bebas pun
bingung mau memulai dengan kata atau kalimat apa.
Melanjutkan pembahasan apakah dengan
menggunakan perangkat yang serba-bisa, powerful sampai bisa dikatakan overkill dapat memberikan 'buff' ide yang bersemi terus-menerus? Jawaban
pendeknya adalah tidak, belum tentu. Tetapi masih ada kok orang yang ketika
memiliki perlengkapan yang oke banget, hasilnya semakin produktif. Namun tidak
sedikit juga mereka yang setelah memiliki perlengkapan serba canggih bukannya
produktif tetapi makin ada aja alasan. Sebagai contoh terdekat adalah
pengalaman pribadi. Sebelum ada media canggih untuk mengetik, kenyataannya
mampu dan nekat menulis cerita dengan modal tulis tangan bisa melahirkan banyak
potongan, bagian cerita walau kualitas tulisannya jelas berbeda kalau
dibandingkan sekarang (mungkin). Bukan kualitas yang dinilai, melainkan
semangatnya.
Sekarang apa yang terjadi? Alhamdulillah saya
sudah memiliki perangkat dan perlengkapan yang seharusnya kalau dipakai sebatas
mengetik saja sudah sangat lebih dari cukup. Kemudian bagaimana dengan
keterampilan tulis-mengetik? Apakah ada perkembangan atau mengalami stuck juga?
Ya, saya mengakui bahwa semenjak memiliki perlengkapan yang dulu diimpikan
ternyata tidak sepenuhnya memberikan dampak positif berupa ide yang mengalir.
Ya ada, tetapi ide-ide tersebut tidak mengalir dalam bentuk tulisan melainkan teralihkan
ke hal-hal yang lain. Jelas bukan sesuatu yang produktif, contohnya bermain
game hingga mengoleksi banyak hal.
Sebagai bukti penyusunan tugas akhir yang
seharusnya dapat selesai dalam kurun waktu 1 tahun, ternyata proses
pengerjaannya molor lebih dari satu tahun. Terlepas dari kendala, ini hanya
membahas tentang alasan yang di-alasankan. Proses penyusunan tugas akhir
membutuhkan kompetensi menulis tingkat ilmiah yang menjadi penentu ilmu yang
sudah dipelajari selama sekian semester, kesiapan dalam menghadapi tugas akhir
sebenarnya dahulu sudah pernah direncanakan. Contoh bentuk usaha kesiapannya
seperti memperbanyak latihan menulis di mana saja dan kapan saja. Menggunakan
perangkat seadanya, jangankan sekarang... menggunakan laptop saja dulu harus
mencari colokan karena baterai laptop yang memang sudah rusak. Namun meskipun
begitu, ada aja ide serta semangatnya.
Sekarang bagaimana kabar?
CONVERSATION