Beberapa kali saya sering mengingatkan kepada saya sendiri tentang definisi keikhlasan dan bagaimana implementasinya dalam hidup. Terlebih belakangan ini sedang ada masalah dan kerepotan yang sedang dihadapi, tetapi masih saja ada ujian untuk selalu ikhlas. Mahasiswa semester akhir seperti saya, mengisi waktu kosong kalau bukan mencuci, farming harian (Arknights dan Genshin, ya sesekali mencicil baca artikel, jurnal, atau satu bab manga. Sampai akhirnya saya membaca buku teman saya yang ditulis oleh Habib Ja'far dengan judul “Seni Merayu Tuhan”. Bukunya tebal standar khas buku-buku ekspositori, namun isinya membuat saya banyak belajar dan bersyukur. Ternyata ada banyak cara di zaman sekarang untuk menikmati anugerah yang diberikan kepada Allah dan bagaimana cara mensyukurinya. Salah satu keterangan yang saya sukai adalah bagaimana cara untuk menikmati setiap ibadah yang dijalani dan implementasi tentang keikhlasan.
Habib Ja'far mendefinisikan keikhlasan dengan
perumpamaan seperti kita buang hajat di WC (untuk penjelasan lebih lanjut, akan
saya paparkan). Kemudian disusul dengan kalimat simple yang mendefinisikan inti
dari praktik keikhlasan, yakni mengamalkan sesuatu tanpa menyebut-nyebutnya.
Tidak hanya perumpamaan yang simple agar mudah dipahami untuk generasi zaman
sekarang, Habib Ja'far juga memberikan definisi yang jelas tentang apa itu
ikhlas. Yakni berasal dari kata khalasa yang berarti murni, kemudian
kata tersebut berkembang menjadi ikhlas yang berarti memurnikan. Karena
buku “Seni Merayu Tuhan” ini pembahasannya ada hubungan erat dengan tasawuf
maka pengertian ikhlas ini ada hubungannya dengan memurnikan ibadah yang kita
lakukan hanya kepada Allah. Bukan karena mengharap atau memikirkan hal lainnya,
namun stay focus kepada-Nya. Kalau buat kita mungkin atau malah sering
nggak focus dalam beribadah, menurutku itu hal yang wajar. Namun bukan
berarti nggak bisa, tetapi belum terbiasa. Habib Ja'far menjelaskan mengapa kita
harus membiasakan diri untuk berusaha memurnikan ibadah yang kita lakukan.
Alasannya simpel juga, mengapa kita memikirkan hal selain-Nya sedangkan apa
yang kita dapat atau diperoleh itu juga karena-Nya. Bingung? Kapan-kapan saya jelaskan lebih
lanjut.
Kembali kepada bentuk atau praktik dari ikhlas
dalam kehidupan sehari-hari. Karena saya baru saja membaca buku “Seni Merayu
Tuhan” maka contohnya banyak saya kutip dari buku tersebut. Kalau ada yang
bertanya, ikhlas itu seperti apa sih? Maka jawabannya ada pada Al Quran
surat Al Ikhlas, yakni mengamalkan sesuatu tanpa menyebut-nyebutnya.
Coba cek di setiap ayat dalam surat Al Ikhlas, apakah ada kata/kalimat ‘ikhlas’
dalam surat tersebut? Jawabannya nggak ada, ya begitulah praktik dari
keikhlasan. Nggak disebut-sebut, kalau disebut-sebut maka bukan ikhlas lagi namanya.
“Ibarat lempar batu, sembunyi tangan” Namun bukan batu dalam konteks tulisan (blog) ini bukan berarti suatu keburukan, melainkan kebaikan. Yakni melakukan kebaikan, kemudian menyembunyikan tangan supaya orang lain tidak ada yang tahu siapa yang melakukan kebaikan tersebut. Karena tujuan melakukan kebaikan bukan agar orang lain melihat atau mengetahui. Hanya dia sendiri dan Tuhan yang mengetahui. Ya begitulah contoh ikhlas yang bisa atau mulai diterapkan dalam sehari-hari. Jujur, dari pengalaman saya sendiri untuk melakukan hal tersebut itu gampang-gampang-susah. Bukan berarti susah banget, tetapi ada aja cobaannya.
Lalu apa yang membuat saya tiba-tiba menuliskan sesuatu seperti ini? Apakah untuk menyindir seseorang? Apakah sebagai bentuk catalyst karena habis menghadapi sesuatu yang mengesalkan? Nggak. Lebih tepatnya untuk pengingat saya sendiri agar selalu berusaha untuk menanamkan keikhlasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Definisi keikhlasan sebenarnya sudah berkali-kali disampaikan selama saya masih duduk di bangku MTs dan MA dulu, mulai dari praktiknya dan bagaimana cara melatihnya karena ikhlas itu memang sulit tetapi bisa dilatih.
Apa yang membuat ikhlas itu sulit? Apakah ibarat melakukan sesuatu tetapi tidak ada imbalannya? Tidak, yang membuat ikhlas itu sulit adalah bagaimana berusaha agar nantinya setelah melakukan amal baik itu tidak merasa sakit hati ketika tidak dianggap sama sekali. Ibaratnya ketika kalian melakukan effort yang besar kepada seseorang atau suatu kelompok, sampai mengorbankan usaha-waktu-pikiran kalian. But in the end, it doesn’t even matter seperti lirik lagu “In the End – Linkin Park”, jujur untuk membiasakan hal tersebut itu sulit. Belum lagi ketika ada yang berkata kamu nggak melakukan apa pun agar dapat membantu, padahal di lain sisi kamu sudah berusaha melakukan sesuatu. Konsep “terbiasa atau menerima untuk tidak dianggap” itu lah yang menurut saya menjadi penyebab mengapa ikhlas itu terkadang sulit dilakukan. Kalau dalam praktiknya keceplos bilang “Aku melakukan ini, itu, dan ini semua aku yang melakukan. Aku membantu ini itu…” maka itu bukan ikhlas namanya, melainkan laporan.
Konsep iklhas yang dipaparkan oleh Habib Ja'far
tidak serumit tadi, ya ibarat mengalir saja. Beliau memberikan contoh paling
dekat sebagai PR utama untuk praktik keikhlasan, yakni dalam hal beribadah
kepada Allah untuk selalu istiqomah/konsisten. Mau dalam keadaan apapun, tetap
beribadah secara khusyu’ atau tidak tegesa-gesa. Bahkan Habib Ja'far
memberikan contoh praktiknya adalah konsisten dalam sholat berjamaah. Beribadah
atau melakukan kebaikan itu ibarat kita buang hajat di WC (paragraf kedua),
yakni setelah ‘dikeluarkan’ maka ya sudah nggak perlu diingat-ingat atau malah
dikenang. Amal kebaikan yang dilakukan diri sendiri itu nggak perlu dikenang,
beda cerita kalau yang ‘amal baik dari orang lain kepada kita’. Jangan malah
kebalik, amal buruk orang lain diingat-ingat dan amal baik sendiri dikenang
terus-terusan padahal nggak seberapa.
Jadi kesimpulan dari ikhlas yang sedang work
in progress ini adalah
- Ikhlas itu sulit, namun bisa dilatih hingga terbiasa. Cara melatihnya juga beragam. Namun dari referensi yang saya baca, lebih baik dimulai dari diri sendiri. Contohnya dalam beribadah.
- Beramal baik itu ibarat buang hajat, setelah keluar ya nggak perlu diingat-ingat.
Seperti biasa, saya Naufal, sampai bertemu di lain tulisan.
// referensi yang saya gunakan
Buku "Seni Merayu Tuhan" karya Habib Ja'far
0 komentar:
Posting Komentar