Pergi ke Surabaya

https://i0.wp.com/aicis.id/wp-content/uploads/2023/03/Slider-1_Menag.jpg?ssl=1

Tulisan ini ditulis sebagai bentuk terima kasih atas dukungan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, khususnya Pusat Layanan Difabel atau PLD, dan apresiasi kepada UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai tuan rumah sekaligus panitia dalam pelaksanaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023. I am notetaker, and in this chance I’m become an interpreter.

Bagaimana kabar kalian? Saya berdoa semoga baik-baik saja semua. Seperti biasa, ketika saya menuliskan sesuatu di blog maka ada suatu hal yang terjadi kepada saya/orang lain/organisasi/institusi yang melibatkan saya untuk berkontribusi. Beberapa hari yang lalu saya bersama teman-teman relawan PLD mendapatkan kesempatan ke Surabaya guna berkontribusi menjadi Juru Bahasa Isyarat dalam acara konferensi internasional tahunan yang diadakan di UIN Sunan Ampel Surabaya tahun ini. Konferensi tersebut melihatkan seluruh PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) di Indonesia untuk berkontribusi, khususnya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Maka dari itu, bila kamu search di Google maka sebelum pelaksanaan AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) dari pihak panitia membuka lebar kesempatan bagi para cendekiawan atau ilmuwan muslim untuk mempersembahkan paper-nya untuk dikaji bersama.



Konferensi AICIS sudah menjadi agenda tahunan yang dalam pelaksanaannya memiliki tema yang berbeda-beda, tentu saja tuan rumahnya juga berbeda. Kebetulan tahun ini, saya beserta teman relawan PLD mendapatkan kesempatan untuk travel dari Yogyakarta ke Surabaya untuk berpartisipasi secara langsung. AICIS juga diharapkan melahirkan hasil karya atau fatwa guna menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan di zaman sekarang. Kalau menurut saya, AICIS itu ibarat bahtsul masail yang dilaksanakan oleh para cendekiawan dengan karya-karya tulis mereka yang berbobot pastinya. Bahkan dalam hymne AICIS, terdapat lirik “AICIS wahana kumpulnya ilmuwan, tokoh agama dan cendekiawan. Mengkaji ilmu tentang keislaman, turut bangun imtak dan moral.”. Maka sudah jelas kan, tujuan dari AICIS dilaksanakan?

AICIS yang ke-22 ini, mengambil tema “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace” dalam pelaksanaannya menampilkan 180 paper pilihan yang disajikan menjadi 48 kelas secara paralel. Lalu apa yang dapat saya & teman-teman relawan PLD kontribusikan untuk berlangsungnya acara konferensi internasional ini? Jawabannya adalah menjadi juru bahasa isyarat selama acara pembukaan sampai penutupan berlangsung. Capek? Iya. Berkesan? Sudah pasti. Kami secara tim memiliki tugas spesialis masing-masing, mengingat acara AICIS memiliki label international maka pasti ada pembicara atau sesi acara yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Jawabannya adalah ya, ada sekian momen acara yang pembicaranya menggunakan bahasa Inggris atau Arab. Contohnya ketika pembukaan oleh pak Menteri, sesi plenary yang disampaikan pembicara-pembicara luar negeri, dan sesi pembacaan piagam Surabaya (Surabaya Charter) yang disampaikan oleh rektor UIN Sunan Ampel Surabaya menggunakan bahasa Inggris.



Tiap orang memiliki potensi dan kemampuan spesialis masing-masing, jadi enggak perlu minder dengan potensi atau pencapaian orang lain. Tiap orang punya jalan sendiri-sendiri, buktinya saya yang nolep begini mendapatkan kesempatan untuk menjadi juru bahasa isyarat sekaligus membantu teman tim JBI untuk memahami apa yang disampaikan pembicara ketika menggunakan bahasa Inggris. Sejarah tentang “bagaimana kok bisa paham bahasa Inggris” mungkin akan saya ceritakan di lain waktu, yang jelas ada hubungannya dengan tindak ‘nolep’ ini dan bagaimana saya bersosial media terlalu dalam. Jadi ketika pembicara tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka ada dua dari anggota yang memiliki tugas untuk membantu menyampaikan ulang apa yang disampaikan oleh pembicara. Contoh ketika pembicara menggunakan bahasa Inggris, kalau kebetulan saya yang giliran tampil maka bisa dikata solo fighter berani gas. Sebaliknya, ketika gantian dengan anggota JBI yang lain maka saya tetap bertugas sebagai penerjemah dari Inggris ke Indonesia.

Sama halnya dengan pengalaman JBI sebelumnya, saya dengan teman relawan PLD berusaha menerjemahkan apa yang disampaikan pembicara. Bukan hanya pembicara saja, melainkan juga lantunan lagu yang dilantunkan. Caranya adalah menerjemahkan lirik lagunya, contohnya ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, Bagimu Negeri, Jangan Menyerah, Hymne AICIS dan masih banyak lagi. Tidak hanya lagu Indonesia, melainkan juga lagu dari luar negeri seperti Smooth by Santana. Ya, kami memahami arti dari liriknya terlebih dahulu baru kemudian dialih bahasakan menjadi isyarat.


Apa yang membuat berbeda dengan pengalaman JBI sebelumnya adalah saya belum pernah dihadapkan kamera besar. Memang menjadi JBI sudah pasti berhadapan dengan kamera, pengalaman saya hanya sebatas webinar Zoom kalau daring, sedangkan untuk luring maka saya berhadapan dengan orang Tuli langsung. Manakah yang menegangkan? Jawabannya adalah pengalaman menjadi JBI secara luring dihadapan banyak warga Tuli yang mayoritas saya belum kenal. Oleh karena itu dalam tulisan yang saya unggah di Instagram menjelaskan bahwa pengalaman di Surabaya ini merupakan batu loncatan terbesar saya, karena ibarat biasa di dalam kandang sekarang di kandang orang lain.

Semua kesibukan tersebut membuat saya secara pribadi tidak sempat menikmati semua fasilitas yang diberikan dari pihak penginapan. Kami ditempatkan di salah satu hotel *5 yang menurutku terkenal. Bahkan standarnya sudah internasional, sudah pasti menggunakan bahasa Inggris. Mengapa kok tidak sempat? Jawabannya adalah kami dikejar waktu. Bisa dibilang kami bermalam di hotel *5 selama tiga malam. Berarti tiga kali kami mendapatkan kesempatan untuk sarapan pagi di hotel tersebut. Menu yang tersedia, sudah pasti enak dan bebas. Mayoritas adalah para undangan, pembicara, dan perwakilan dari PTKIN masing-masing. Bisa dibilang kami termasuk sebagai undangan untuk berkontribusi. Maka dari itu, standar penginapan juga di sama ratakan dengan para undangan ataupun pembicara.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam mensukseskan acara AICIS 2023. Kemudian secara pribadi kepada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, khususnya Pusat Layanan Difabel yang telah menjembatani saya dengan teman relawan PLD yang bertugas untuk mendapatkan kesempatan yang langka sekaligus berharga. Semoga kedepannya saya bersama teman-relawan PLD dapat berkontribusi bagi sesama.

I’m Naufal, I’m notetaker, and in this chance I’m become interpreter.



CONVERSATION

0 komentar: