Aku Suka Menulis Bukan Berarti Tulisanku Bagus


Aku suka menulis, entah itu menulis agenda, diari, log harian dan semacamnya. Semenjak aku mengenal dunia menulis bebas yang aku dapat dari bukunya Peter Elbow, minat menulis aku semakin menggebu-gebu ketika kelas 10 MA. Sehingga hampir tuh setiap hari aku membuat ‘free writing’ sebanyak satu halaman binder penuh, tulisan tangan. Sampai sekarang mungkin manuskrip-manuskrip tersebut masih ada dan berserakan di meja belajar rumah. Tetapi banyak manuskrip yang hilang tercecer, di samping mau diselamatkan bagaimana juga. Karena itu semua hampir tidak ada arti/maknanya.

Hampir 80-90% isi post di blog iamshidqi, berisikan karya tulis yang kategorinya termasuk free writing. Perlu aku jelaskan, bahwa free writing itu berbeda dengan scholar writing atau simpelnya karya ilmiah. Itu loh, tulisan yang dimuat di surat kabar atau post situs yang menyediakan informasi berkualitas. Contohnya di Emerald. Tulisan ‘free writing’ berbeda jauh dengan kepenulisan biasa, apalagi kalau cakupannya menulis tulisan ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, analisis dan pendekatan anjay mabarnya wkwk.

Tetapi, aku harus menjelaskan berkali-kali, mungkin aku ‘kelihatannya’ sering post menulis. Ada yang menilai kalau diri aku ini adalah pribadi yang suka menulis, blogger dan sebagainya. Alhamdulillah aku ucapkan, karena mendapat penilaian yang positif. Tetapi (lagi), aku suka menulis bukan berarti tulisanku bagus. Alasan simpelnya adalah aku jarang menulis tulisan yang ilmiah dengan sumber yang berjejer banyak. Apalagi kalau kaitannya dengan skripsi, tesis dan karya tulis yang dimuat di situs jurnal. Jujur, aku belum pernah ikut. Sehingga kesukaan menulis ini hanyalah ‘pure’ suka, hobi tetapi bukan/belum menjadi profesi. Doakan suatu saat, aku bisa mencapai ranah di mana aku bisa menulis dengan kandungan isi yang bermakna, mudah dipahami dan bermanfaat untuk sesama.


Suka menulis, belum tentu tulisannya bagus atau mudah dipahami. Karena tulisan itu seperti masakan, sehingga bagaimana cara memasaknya dengan matang betul-betul, atau setengah matang seperti puisi (perlu dipahami/cerna betul-betul untuk bisa paham) agar bisa dinikmati oleh pembaca setia atau khalayak ramai. Mereka para penulis kondang, kebanyakan sudah punya style atau gaya kepenulisan mereka sendiri-sendiri. Apalagi kalau karya yang dihasilkan termasuk kategori fiksi, mungkin teman-teman yang demen baca novel pasti bisa merasakan bedanya penulis A dengan B, mulai dari cara penyampaian, meracik konflik dan sebagainya. Sehingga sebagai konsumen, bisa menilai “Manakah yang bagus atau sesuai selera?

Karena menulis untuk mencapai titik paling tinggi, di mana semua orang menyukai. Itu tidak mungkin menurutku

Kembali lagi, menulis itu seperti memasak. Enak-tidaknya ya tergantung sama yang baca, sebuah karya bisa dikatakan bagus sama orang lain itu bisa jadi karena orangnya minat atau sepemikiran, satu frekuensi dengan gagasan atau kandungan yang terdapat dalam buku/karya tersebut. Jadi, aku berpikir untuk mencari jati diri dalam cara/gaya menulis. Selama 3 tahun mungkin, aku masih mencari jati diri kepenulisan, cara atau style menulis “Yang gue banget”.

Berawal dari free writing, aku melanjutkan menulis novel fiksi fantasi berat yang ketika itu hanya bisa dipahami oleh satu teman sekelas. Itu aja ketika selesai membaca, aku menawarkan diri untuk menceritakan ulang agar kiranya bisa bantu memahami maksud dari cerita yang ditulis, wkwk aneh pokoknya hehe.

Tetapi perlu dicantumkan pada aku sendiri. Bahwa aku suka menulis, bukan berarti tulisanku bagus. Perlu banyak revisi, perbaikan atau malah kadang salah pemahaman. Oleh karena itu, aku membutuhkan revisi, saran, kritikannya kalian wahai para pembaca yang kadang kebetulan lewat dari sosmed melalui link blog yang berserakan saya share ke mana-mana wkwk.

CONVERSATION

0 komentar: