Relawanetik

 

https://images.unsplash.com/photo-1578357078586-491adf1aa5ba?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=1964&q=80


“Aku tidak mengikuti organisasi yang bermitra dengan kampus sama sekali, kecuali PLD” Tutur aku ketika ditanya oleh teman-teman sebaya, seperjuangan, atau seangkatan. Statement untuk memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu tidak ada penyesalan sama sekali. Menjadi mahasiswa kupu-kupu atau kuliah-pulang set(repeat) bukan menjadi masalah yang fatal seperti yang dikatakan orang-orang. Adalah mereka yang mengikuti organisasi dengan segala kesibukannya sampai (ada yang) melalaikan tugas kelompok yang sudah dibagi.

Ya tentu, menjadi mahasiswa kupu-kupu pasti banyak luang dan waktu. Apalagi kalau pas maba, di mana semuanya masih banyak euforia atau senang-senang menjadi anak kuliahan —padahal, ya memang pada dasarnya kuliah memang ‘senang-senang’ sih. Bisa pakai baju bebas yang penting rapi, menempatkan jadwal kuliah sesuka hati, dan masih banyak lagi. Namun yang pasti tidak menutup kemungkinan kala menjadi mahasiswa pasti mengalami namanya jam kosong, yang (biasanya) dimanfaatkan oleh mereka (para mahasiswa) untuk mencari kesibukan guna mengembangkan potensi. Dapat meliputi hal keorganisasian, atau pendalaman materi berupa berdiskusi. Yah mahasiswa pasti lika-likunya kalau nggak penyuluhan materi, menulis essai, presentasi, ya berdiskusi, dan ujung-ujungnya nulis skripsi. Lantas apa yang dirumitkan? Kenapa kau overthink wahai aku yang tiap malam sampai nggak sempat mengurus diri sendiri?


https://images.unsplash.com/photo-1528980917907-8df7f48f6f2a?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=2070&q=80


Kembali lagi pada pengalaman saya menjadi mahasiswa kupu-kupu. Memang dari awal tekad untuk tidak mengikuti program organisasi apapun yang terlibat dalam fakultas ataupun kampus. Intinya menghindari namanya komitmen. Salah satu kekurangan dariku yang masih perlu direvisi untuk dibenahi. Kecuali satu, menjadi bagian dalam mengabdi, melayani, apalagi kalau bukan menjadi anggota di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?

Keputusan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota PLD —tidak, itu kurang tepat, menjadi Relawan nah itu tepat, sudah ter-planning sejak maba. Penilaian pertamaku terhadap PLD adalah satu-satunya organisasi/institusi yang (berdasarkan observasi dan teoriku) yang bersih dari konflik secara gamblang. Hal ini diartikan kegiatan yang dilaksanakan dalam PLD tidak secara benar mengikatmengekang para anggotanya (dalam konteks ini mereka para relawan) untuk terus ada atau bersedia. Kalau dibilang “Tidak mau berkomitmen” terserah, mau dikata apa tetapi kembali lagi. Namanya Relawan adalah mereka yang mau menyumbangkan tenaga-pikiran-usaha untuk membantu suatu acara/proyek/layanan bisa dalam bentuk pengabdian atas dasar suka dan rela.

Seorang Relawan (berdasarkan pengalaman sendiri) pelaksanaannya tentu menyesuaikan waktu dari pada sang Relawan sendiri. Kala ada waktu luang, maka mengajukan diri untuk membantu pendampingan (misalnya) sehingga sekali lagi tidak ada istilah kegiatan dari PLD menyulitkan Relawan sendiri kecuali dari Relawan yang memforsir jadwal sehingga melebihi batas kesibukan. Pengalaman aku menjadi Relawan selama tiga tahun (semenjak 2019) benar-benar fleksibel, dengan kata lain waktu pengabdian (berupa pendampingan) menyesuaikan kapan waktu luang serta tidak benar-benar dikekang. Tentu aturan tersebut berbeda bila dibandingkan organisasi lain yang ada istilah ‘Pengurus harian’, ‘Program kerja’, atau apalah namanya yang menuntut suatu pencapaian atau pelaksanaan program sehingga tidak jarang mengorbankan waktu luang atau anak zaman sekarang menyebutnya ‘Me time’. Kurangnya waktu luang, dimakan untuk waktu organisasi mungkin dapat memberikan dampak negatif terhadap mental. Apalagi kalau tipikal orangnya tertutup a.k.a introvert —di mana bertemu dengan orang banyak menguras emosi lagi tenaga. Namun sekali lagi, statemen tersebut tergantung tipikal orangnya. Kalau mereka memiliki tipe yang menyukai kebersamaan, kumpul-kumpul, atau berhubungan dengan banyak orang maka organisasi bukan menjadi kesulitan melainkan tantangan untuk berproses kemajuan

Kembali lagi dalam ke-Relawanan. Sekali lagi menjadi seorang Relawan bukan dari paksaan, melainkan atas dasar suka & rela. Namanya juga Relawan, implementasi dari kata ‘Sukarela’ bisa dikatakan orang yang membantu dengan sukarela, tidak menuntut apa-apa karena melakukannya atas dasar murni kemauan suka. Kalau ada maksud lain maka bukan namanya sukarela, melainkan seorang pekerja. Yakni mereka yang melakukan suatu aktivitas untuk dibayar nantinya. Namun dalam menjadi Relawan tentu ada pasti ada etika. Aku masih ingat dulu ketika awal maba, awal mendaftar resmi jadi relawan diberikan penyuluhan tentang etika khususnya saat mendampingi mahasiswa difabel. Materi etika tersebut dapat berupa sikap yang sudah seharusnya dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan selama menjalani pendampingan. Memang tadi aku mengucap ‘tidak dikekang’ tetapi dalam konteks ini, etika tetap harus jalan supaya kedua pihak (antara Relawan & Difabel) tidak terjadi cek cok sampai menimbulkan gosip dibelakang. Jangan sampai.


https://i2.wp.com/blog.kampusgurucikal.com/wp-content/uploads/2019/02/DISABILITAS.png?fit=1200%2C700&ssl=1


Seorang Relawan di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pasti tidak terlepas dari aktivitas pengabdian berupa pendampingan, hampir semua Relawan pasti pernah membantu pendampingan menjadi note-taker dengan maksud membantu mahasiswa Difabel untuk memahami materi perkuliahan yang disampaikan. Bahkan ada Dosen yang mengatakan “Bukan mereka (mahasiswa Difabel) yang perlu didampingi, melainkan saya sebagai dosen yang perlu didampingi supaya untuk tetap dapat menyampaikan informasi kepada mereka (mahasiswa Difabel) secara inklusif.”.

Meskipun seorang Relawan, tetapi tetap ada etika nan aturan. Berdasarkan apa yang saya ingat betul dulu ketika awal penyuluhan, seorang relawan khususnya dalam menjalani pendampingan berupa note-taker harus mengutamakan tujuan atau inti dari maksud pendampingan tersebut. Dengan kata lain seorang note-taker sudah sepantasnya untuk tetap fokus terhadap apa yang disampaikan oleh sang Dosen. Sekali lagi seorang note-taker tugas utamanya adalah menuliskan pemaparan materi apa saja yang disampaikan oleh sang Dosen, biasanya notetaker ini difokuskan kepada mahasiswa Difabel Tuli yang nanti catatan tersebut dipelajari oleh sang mahasiswa Tuli tersebut.




Namun dalam pelaksanaannya mungkin bervariasi, terkadang ada mahasiswa Tuli yang meminta untuk menjelaskan secara langsung atas apa yang disampaikan oleh Dosen. Dengan kata lain diminta untuk ‘menerjemahkan’ apa yang diucap sang Dosen secara langsung nan spontan, sehingga tidak jarang mereka yang fokus kepada pendampingan Tuli perlahan juga ‘kan mempelajari bahasa isyarat karena (jujur) lebih mudah menjelaskan menggunakan bahasa mereka dibandingkan menulis gamblang apa yang Dosen ucapkan. Apalagi kalau tipikal Dosen yang banyak berucap, berdalih sedangkan sang mahasiswa Tuli ingin tahu apa yang disampaikan Dosen maka jawabannya tidak ada cara lain kecuali berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Jadi bisa aku katakan ketika pendampingan itulah kapabilitas dari Relawan diuji. Bagaimana upaya kamu agar bisa menyampaikan informasi, bagaimana upaya kamu agar tetap menjembatani suatu komunikasi agar tetap dikatakan inklusi. Lika-liku seorang Relawan yang sudah pasti setiap hari pendampingan kian mewarnai.

Sudah menjadi dasar seorang Relawan memang melakukan dengan tujuan untuk membantu, nggak hanya kepada para mahasiswa Tuli melainkan hampir semua mahasiswa Difabel yang terhimpun dalam institusi ‘Pusat Layanan Difabel’ juga mendapatkan pelayanan yang serupa. Hanya saja untuk aku lebih banyak mendalami kepada mereka mahasiswa Tuli, mulai dari cara berkomunikasi sampai membantu mempelajari dan juga mengajari. Walaupun sudah tertera dengan jelas tujuan Relawan adalah demikian (yang sudah tertulis tadi), tetapi tidak menutup kemungkinan seorang Relawan bakal nge-blunder juga.


https://images.unsplash.com/photo-1509047319667-c1a8de3000c7?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=1964&q=80


Blunder berasal dari bahasa Inggris yang berarti kekeliruan, kalau dalam medsos istilah blunder sering digunakan sebagai bahasa slang yang mewakili tindak yang salah atau membuat suatu kasus menjadi curiga. Blunder juga bisa dikatakan human error karena ujung-ujungnya blunder pasti merupakan kesalahan dari manusia itu sendiri. Dalam konteks Relawan mendampingi Difabel, saya pernah mendapatkan informasi dari salah satu informan yang menceritakan keluh-kesah Relawan dalam menjalankan tugas (mendampingi) perkuliahan sehingga membuat mahasiswa Difabel menjadi kesal karena tingkah lakunya. Nama sudah pasti disensor, dari kejadian ini bisa diambil pelajaran bagi para Relawan dan juga Mentor yakni untuk membangun kesadaran atas diri daripada seorang Relawan untuk meluruskan niat a.k.a objektif untuk membantu mahasiswa Difabel dalam menjalani perkuliahan.




Sekali lagi, tugas seorang Relawan (aku ucapkan lagi) adalah mendampingi. Sudah pasti harus fokus dengan perkuliahan dan materi, bukan malah asik sendiri, apalagi ngobrol dengan teman yang kebetulan satu kelas dengan mahasiswa Difabel yang didampingi. Memang seorang note-taker tugasnya sebatas mencatat atau meringkas penyampaian dosen dalam menerangkan materi, namun tidak menutup kemungkinan mahasiswa Difabel akan meminta model pendampingan dengan cara lain. Persis seperti yang aku paparkan pada tentang variasi dalam mendampingi. Sebagai seorang relawan sudah pasti untuk terus berusaha membantu mahasiswa Difabel dalam mendapatkan informasi, contoh dasarnya adalah mencatatkan materi.

Oleh karena itu mencatatkan materi diartikan hal yang sangat vital bagi mereka, sehingga lakukan sebaik semampu anda (sebagai relawan). Pengalaman pribadi dalam mendampingi, tidak jarang ketika tengah perkuliahan karena dosen cepat menerangkan, dan banyak yang harus ditulis maka aku bertanya kepada sang mahasiswa Tuli, “Dosen menerangkan dengan cepat, banyak materi yang beliau ucap. Apakah aku perlu menerjemahkannya secara langsung? Bila perlu, akan aku usahakan.”. Lalu dia menjawab dengan bahasa isyarat, “Ya. Silahkan, terima kasih banyak sebelumnya.”.

Kala pendampingan itulah kapabilitas kita (sebagai relawan) diuji. Momen di mana adanya jarak keterbatasan itulah, kita (sebagai relawan) diharapkan dapat menjadi jembatan bagi mereka untuk tetap mendapatkan informasi secara inklusi. Seberapa besar kapabilitas kita dalam membantu, maka ayo segera usahakan ‘tuk dibantu. Dalam kasus tersebut, aku tidak bisa secara langsung menyalahkan mereka (para Relawan) yang dengan notabene ‘hanya mencatatkan saja, tetapi tidak membantu menerangkan atau memahamkan’ itu salah. Namun secara garis besar, seorang Relawan tetap saja memiliki etika dan prinsip yang harus dipegang kala bertugas dan mendamping. Yakni membantu mahasiswa Difabel dalam menjalani perkuliahan, khususnya dalam pendampingan materi.




Relawan yang aku yakin berhati budiman. Aku memiliki pesan bagi kalian, semoga tetap dipegang, menjadi prinsip tiap bertugas-menjalankan. Yakni apapun kondisinya, kala bertugas tetap harus fokus dan mengutamakan akses sang Difabel dikarenakan kondisi kamu/aku/kalian adalah seorang Relawan. Yakni mereka yang ada sedia untuk membantu mereka (para mahasiswa Difabel) supaya tetap setara sama mendapatkan informasi secara inklusif. Tidak mengutamakan timbal balik berupa material, tetapi secara respect sudah pasti mulia dilakukan.

Kesimpulannya relawan tetap relawan, memiliki niatan membantu. Tentunya ketika memang dibutuhkan, dan yang pasti utama adalah tulus menjalankan. Bedakan Relawan dengan Kepanitiaan apalagi Kepengurusan. Secara dasar niat sudah berbeda, begitu juga pelaksanaannya. Semoga sukses kalian yang terus membantu dan mengabdi.

Berikut referensi yang aku gunakan:

Siapa Itu Relawan? Pengertian dan Manfaat Menjadi Relawan (turuntangan.id)

PLD UIN Sunan Kalijaga (uin-suka.ac.id)

PLD UIN Sunan Kalijaga: RELAWAN (uin-suka.ac.id)

Profile Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga - YouTube

Seperti biasa, tempat mencari gambar HD yang bebas hak cipta → Beautiful Free Images & Pictures | Unsplash

Sebagian gambar saya ambil di media sosial Twitter saya.

CONVERSATION

0 komentar: