Tahun kemarin aku menulis tentang cuplikan kegiatan praktik SLiMS yang diterapkan di perpustakaan SMPN 4 Banguntapan. Pelaksanaan praktik berfokus pada implementasi software manajemen perpustakaan dan penataan ulang koleksi perpustakaan yang awalnya berupa gudang menjadi tempat yang nyaman untuk membaca. Adalah pengalaman berharga buat saya, mengingat minus sekali pengalaman dan hanya mengandalkan teori yang dulu dibaca. Apalagi seorang pustakawan, meskipun stratanya S1 tetap saja secara praktik harus bisa diadu (buktikan).
Kalau tahun kemarin praktiknya, maka tahun ini adalah magangnya. Ya secara harfiah sama-sama praktik, yang menjadi perbedaan adalah tahun kemarin orientasinya adalah “Bagaimana kita mengelola perpustakaan yang seperti gudang menjadi tempat yang layak disebut perpustakaan”, sedangkan tahun ini adalah “Bagaimana pengalaman tiap individu dalam menjadi pustakawan di instansi, perpustakaan, atau semacamnya”. Oh iya sekali lagi, beda mata kuliah. Tahun kemarin mata kuliah yang kegiatannya 80% praktikum adalah Manajemen Perpustakaan yang waktu itu diampu oleh Ibu Labibah sedangkan tahun ini mata kuliahnya bernama PPL (Praktik Pengalaman Lapangan, atau Pengalaman Praktik Lapangan? —ya apapun itu). Jadi bisa disimpulkan bahwa sama-sama mengimplementasikan pengetahuan yang kita pelajari selama bangku perkuliahan di suatu instansi yang membutuhkan atau kita butuhkan.
Menurut aku, berdasarkan pengalaman pribadi (tetapi statemen ini nggak bisa jadi standar) perbedaan praktik keperpustakaan tahun kemarin dibandingkan tahun ini adalah sensasi atau vibe praktiknya lebih “mengena” di semester ini. Mengapa begitu? Karena orientasi praktik di semester 5 (tahun kemarin) adalah “bagaimana kita mengelola perpustakaan yang belum jadi” sedangkan tahun ini adalah kita seperti bekerja kepada instansi, di mana mengikuti aturan yang sudah tersedia layaknya magang yang sebenarnya. Tahun kemarin pengalaman praktik di SMPN 4 Banguntapan yang menentukan kapan kami berangkat/bekerja adalah kami secara kelompok sendiri, bukan dari instansi yang terkait. Sedangkan tahun ini, aku melaksanakan magang maka sudah sewajarnya mengikuti alur serta aturan yang sudah ditetapkan. Bukan berarti bebas, tapi layaknya orang yang sedang magang.
Lanjut bercerita magang di semester ini. Alhamdulillah setelah mengadu, mengeluh terhadap bagaimana takdir antara aku & mas Nanda ditempatkan dimana, akhirnya prodi memberikan tawaran tempat untuk kami magang di instansi sekolah dasar dengan kurikulum inklusi-multikultur. Sekolah Tumbuh. Salah satu sekolah ternama di Yogyakarta yang mengusung prinsip inklusi, multikultur, dan mengangkat materi yang berhubungan kearifan lokal. Dari kapabilitas kelompok kami, sepertinya memang sesuai untuk kami ditempatkan di Sekolah Tumbuh selama kurang lebih dua bulan.Melalui magang selama dua bulan harapannya kami banyak belajar dan mendapat pengalaman, tentu sebagai bekal besok ketika berkelana di dunia kerja.
Menjadi pustakawan tidak semudah yang aku bayangkan, khususnya pada pengalaman magang di Sekolah Tumbuh. Kalau aku ceritakan secara komplit, rasanya post bakal panjang karena banyak pengalaman baru yang aku dapat (padahal baru pekan ketiga). Aku ceritakan salah satunya, yakni tentang pustakawan di Perpustakaan Sekolah Tumbuh.
Tidak seperti pustakawan pada umumnya, di mana mereka hanya fokus mengelola koleksi, menjaga buku, mendata siapa saja yang berkunjung, mengawasi sirkulasi peminjaman, dan semacamnya. Layaknya pustakawan di sekolah, sampai-sampai dulu aku pernah berpikir “Jadi pustakawan, kerjanya berarti gitu-gitu saja. Repeat. Datang, jaga, kalau ada yang minjam ya dilayani, kalau nggak ada ya udah. Idle.”. Namun di instansi Sekolah Tumbuh tidak seperti itu. Pustakawan di Sekolah Tumbuh tidak hanya berkompetensi dalam hal mengelola, melainkan juga menjadi pengajar. Hal ini ditandai dengan istilah pustakawan di Sekolah Tumbuh dengan nama Teacher Librarian, yang berarti pustakawan & pengajar. Ya, kombinasi. Seorang pustakawan (di Sekolah Tumbuh) harus memadukan antara memberikan pembelajaran tentang hal yang berkaitan dengan literasi, dan menjadi pustakawan yang mengelola koleksi. Dalam kondisi tersebut kompetensi persyaratan bagi mereka yang hendak menjadi pustakawan di instansi inklusif-multikultur tersebut harus siap mengelola koleksi dan anak. Padahal mengelola perpustakaan (kalau kondisinya tidak sesuai standar) saja sudah capek, apalagi menjadi pengajar?
Kedua kompetensi antara mengajar anak & mengelola pustaka merupakan cabang ilmu yang berbeda. Seingatku pustakawan orientasinya tertuju pada pengelolaan koleksi atau arsip sehingga dalam praktiknya jarang berinteraksi dengan orang lain (ya paling sebatas praktik layanan sirkulasi, kalau arsiparis malahan jarang banget). Begitu juga mereka mahasiswa tarbiyah (keguruan), memang mereka diajarkan bagaimana cara mengajar tetapi tidak bagaimana mengelola koleksi yang berjumlah ratusan. Apalagi kalau pustakawannya seorang yang tertutup, sulit berinteraksi (sama orang saja susah, apalagi anak-anak?) tentu menjadi tantangan tersendiri dan keunikan bagi perpustakaan Sekolah Tumbuh.
Contohnya (berdasarkan pengalaman sendiri, magang pekan pertama di perpustakaan Sekolah Tumbuh 2). Aturan perpustakaan sudah jelas tertulis “Tidak boleh berisik”. Namun namanya anak SD, kalau nggak berisik malah bisa berarti sakit atau ada masalah. Setiap waktu istirahat, aku dan mas Nanda sampai memilih untuk menunda membuka bekal makan siang guna mengawasi anak yang datang bergerombol masuk ke dalam ruang pustaka. Layaknya anak SD, mereka datang ke tempat perpustakaan dengan niatan yang bermacam. Ada yang bermain, mengobrol, lari-larian, menggambar, atau membaca yang benar-benar membaca. Lantas apa yang kami awasi? Program kerja yang kami laksanakan saat itu adalah book leveling (aku akan menjelaskan ini kapan-kapan) dengan status masih proses (belum selesai), bila kami tinggal begitu saja maka tidak menutup kemungkinan anak-anak akan penasaran dan mengubah susunan kelompok dari buku/koleksi yang sudah kami kelompokkan dan urutkan. Bila lengah? Maka jawabannya adalah mengulang dari awal. Tidak mungkin kami menyalahkan anak-anak, karena memang dasarnya anak SD memiliki rasa penasaran yang tinggi. Jadi yha begitu.
Semoga proses magang yang kami laksanakan selama dua bulan ini berlangsung lancar, dengan akhir yang sukses berbinar. Khususnya laporan, ya aku mengkhawatirkan itu. Doakan aku. Akhir kata bercerita, sampai bertemu di post selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar