Pengalaman magangku dengan mas Nanda sudah mencapai kurang lebih dua dari total waktu tiga bulan. Kali ini, sama seperti tulisan sebelumnya, aku ingin menceritakan tentang pengalaman magangku sampai di pekan kedua. Namun untuk artikel ini tertuju pada bagaimana pengalaman berkomunikasi dengan mas Nanda. Melalui bahasa isyarat menggunakan tangan, jari, serta ekspresi mewakili informasi yang disampaikan. Begitu juga sebaliknya dalam berkomunikasi, tidak semua informasi yang kami berdua sampaikan adalah hal yang penting tetapi juga candaan layaknya orang mengobrol dan bercerita. Apakah selama berkomunikasi dengan mas Nanda, pernah terjadi cekcok? Apakah pernah namanya miskomunikasi? Kemudian bagaimana kami mengatasinya? Selamat membaca.
Sebelum menjawab perlu diketahui (untuk pembaca baru, atau lama) mas Nanda merupakan mahasiswa difabel Tuli. Namanya pernah aku sebut di artikel blog tahun 2021, dimana aku menceritakan bagaimana rasanya berkomunikasi dengan teman tuli sehingga pada dasarnya post ini merupakan remake ulang dengan kondisi setting, latar belakang, serta alur yang berbeda namun tokoh serta penokohannya tetap sama. Ada banyak cara berkomunikasi, contohnya teks. Namun aku berkomunikasi kepada orang tuli, akan lebih efektif bila menggunakan bahasa mereka yakni bahasa isyarat.
Jauh sebelum ini, aku sudah mengenal bahasa isyarat ketika pertama bertemu dengan mas Nanda. Ya, melalui berita, film, atau anime yang dulu pernah aku tonton. Tetapi secara literal mengenal dan belajar memahami bahasa isyarat adalah ketika awal duduk menjadi maba, mengenal mas Nanda. Beliau adalah guru pertama saya yang mengajari bahasa isyarat. Mulai dari huruf alfabet, kemudian aktivitas (isyarat), lalu struktur kalimat dalam bahasa isyarat hingga akhirnya timbul cita-cita untuk menjadi penerjemah. Melalui mas Nanda, aku dikenalkan teman-teman Tuli Yogyakarta. Kemudian ikut menjadi relawan, dan timbul cita-cita untuk menjadi penerjemah Alhamdulillah sudah kesampaian sekarang.
Komunikasi menggunakan bahasa isyarat ibarat bahasa kedua. Berbeda ketika berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ibu saya, sedangkan bahasa isyarat baru aku pelajari setelah menjadi mahasiswa. Perlu banyak pengalaman berkomunikasi dengan teman Tuli untuk melatih serta memahami struktur kalimat dalam bahasa isyarat. Salah satu hal penting dalam berkomunikasi bahasa isyarat adalah informasi yang disampaikan tidak berbelit, langsung kepada inti.
Pengalaman memiliki teman Tuli, terhitung dari awal maba tiga tahun lalu, berarti sudah 3 tahun aku punya teman Tuli. Berkomunikasi dengan mereka bisa dikatakan susah-gampang, bukan berarti aku menilai rata semua Tuli melainkan tergantung kepada siapa berkomunikasi dengan teman Tulinya. Dengan kata lain, lancar-tidaknya berkomunikasi juga bergantung pada kemampuan dari teman Tuli dan teman Dengarnya dalam menangkap informasi atau menjelaskan informasi. Sekali lagi bahasa isyarat terkadang tidak memiliki kiasan, bahkan dalam proses menerjemah kalimat yang misalnya “Hai, apakah kamu sudah makan? Kalau belum, aku ada makanan. Ambil aja, masih banyak kok.” Maka terjemah isyaratnya adalah “Hai, kamu makan sudah? Kalau belum, makan ini (menunjuk makanan) ada banyak aku. Ambil. (menyodorkan makanan)” Tidak memiliki kata sambung atau imbuhan, memang benar-benar langsung to the point. Untuk mereka yang tidak terbiasa atau belum tahu sama sekali, maka proses berkomunikasi isyarat akan menafsirkan tiap kata hingga panjang lebar. Jelas iya (bagi kita) namun tidak (bagi mereka).
Begitu juga sebaliknya, lancar-tidaknya komunikasi yang disampaikan juga bergantung pada kemampuan Tuli tersebut. Contoh dalam proses komunikasi menggunakan teks. Sejauh pengalaman yang pernah aku alami, orang Tuli memiliki kendala dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia melalui tulisan. Rata-rata mereka membutuhkan waktu untuk mempelajari namanya struktur kalimat serta bagaimana membuat kalimat. Contoh studi kasusnya adalah para mahasiswa Tuli, tidak sedikit bagi mereka merasa kesulitan ketika mendapatkan tugas essai dari Dosen. Terlebih bila essainya berjenis opini, mereka harus mempelajari terlebih dahulu tentang apa itu opini. Belum lagi bila ada istilah baru yang menjelaskannya harus menggunakan kata yang mudah ditangkap oleh teman Tuli tersebut. Dahulu ketika awal maba, salah paham adalah hal yang biasa berkomunikasi dengan mas Nanda. Karena dangkalnya pengalaman saya dalam menjelaskan ulang kalimat, serta mas Nanda yang (waktu itu) kurang banyak membaca sehingga ketika dihadapi komunikasi berdasarkan teks (chatting) maka miskom akan informasi kemungkinan besar akan terjadi.
“Mengapa mereka kesulitan memahami struktur bahasa Indonesia? Padahal seharusnya itu adalah hal yang mudah, mereka juga sama-sama tinggal di Indonesia.” Statemen tersebut tidak berlaku bagi teman Tuli. Bagaimana mereka bisa mengetahui logat serta pengucapan bahasa Indonesia? Sedangkan mereka tidak dapat mendengar. Bagaimana mereka bisa tahu cara struktur pengucapan kalimat tanya, sedangkan mereka memiliki keterbatasan indera? Bagaimana mereka bisa menulis kalimat bahasa Indonesia yang baik, sedangkan mendengar orang mengucapkan bahasa Indonesia saja dalam keterbatasan.
Semua kekurangan tersebut dapat tertutupi dengan pengalaman. Mereka memiliki keterbatasan, tetapi tidak dengan akal. Melalui banyaknya pengalaman maka kekurangan tersebut dapat terpenuhi. Buktinya banyak teman Tuli yang menempuh studi strata sarjana kemudian lanjut pascasarjana. Untuk mencapai jenjang tersebut salah satunya adalah memperbanyak membaca, melatih kosa-kata, dan banyak melakukan praktik menulis. Begitu juga sebaliknya aku sebagai teman dengar harus memperbanyak pengalaman berkomunikasi kepada mereka untuk memahami struktur bahasa mereka (Isyarat) agar dapat menerjemahkan maksud apa yang disampaikan, supaya mereka paham dan mendapatkan ilmu baru atas bantuan sang mediator tersebut.
Kembali lagi dalam hal komunikasi dengan mas Nanda, khususnya selama magang dua bulan. Saat ini sudah berjalan satu bulan, separuh jalan. Apakah sudah pernah kisruh karena salah paham? Jawabannya sering, kami menjadikannya sebagai bumbu untuk mewarnai kisah magang, pelipur lara lelah beban emosional kemudian menjadikannya sebagai bahan bercandaan. Salah satu cerita aku & mas Nanda cekcok adalah ketika sedang melakukan penyortiran buku/koleksi untuk dikelompokkan menggunakan standar book leveling di perpustakaan SD Sekolah Tumbuh 2. Sebelum memulai, aku meminta mas Nanda untuk membaca betul-betul artikel pengelompokkan buku menggunakan dasar Book Leveling yang dilaksanakan di SD Gresik sebagai referensi utama. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya miskom, namun realitanya yha tetap terjadi. Ternyata penyebabnya adalah mas Nanda belum memahami betul aturan tiap level dalam pengelompokkan book leveling. Berikut cuplikan dialog kami menggunakan bahasa isyarat
“Ini buku, level 3 masuk. Kenapa kamu, buku masuk level 2?” bacanya Buku ini, termasuk level tiga. Kenapa kamu masukkan ke level 2? Tutur saya menggunakan bahasa isyarat sepesifik.
“Ini buku, gambar banyak.” Buku ini, ada banyak gambar/ilustrasinya. Ujar mas Nanda sambil membuka halaman acak dari buku yang dimaksud, kemudian menunjuk banyaknya ilustrasi yang tertera.
“Bukan. Kamu baca sudah, artikel isi aturan program kita pakai ini? Sudah?” Bukan, kamu sudah baca artikel yang berisi aturan book leveling yang kita pakai?
“Sudah. Level dua, gambar banyak. Level tiga, gambar sedikit.” Sudah. Level dua aturannya ada banyak gambarnya. Level tiga, untuk yang sedikit gambarnya. Ujar mas Nanda, menjelaskannya secara singkat atas apa yang ia pahami.
“Kalimat? Bagaimana untuk kalimat banyak, kamu paham?” Kalimat, bagaimana dengan kalimat yang banyak? Apa kamu sudah paham?
Dan ternyata dia belum memahami betul. Maka aku harus menjelaskan ulang aturannya, dengan menunjukkan referensi serta kemudian menjelaskan menggunakan isyarat. Kami mengulangi penyortiran, ya bisa dikatakan sortiran bagiannya mas Nanda. Bukan menjadi problema, tetapi guna evaluasi untuk kami berdua. Sesekali aku bercanda “Kamu, artikel paham sering salah paham. Bagaimana tulis, buat skripsi. Kamu?” Kamu memahami artikel saja sering salah paham. Bagaimana nanti ketika kamu menulis skripsi? Aku menyampaikannya menggunakan ekspresi bercanda, sehingga mas Nanda menanggapinya dengan tertawa bingung. Tujuannya agar mas Nanda termotivasi untuk semakin memperbanyak praktik membaca, menulis agar kosa kata yang ia kuasai semakin bertambah.
Pelaksanaan magang untuk seorang pustakawan tidak terlepas namanya pengelolaan koleksi. Kegiatan ini ada hubungannya dengan input koleksi yang berkaitan erat dengan input metadata buku ke dalam software database pengelolaan koleksi yang dalam kesempatan ini perpustakaan menggunakan SLiMS (Senayan Library Management System). Pada pelaksanaan tempat pertama (perpustakaan SD Sekolah Tumbuh 2) aku & mas Nanda sudah ada cerita salah paham tentang pemahaman book leveling, untuk tempat kedua (perpustakaan CSIE) ada cerita sendiri lagi. Cerita miskomunikasi di tempat magang kedua hanya dalam konteks input metadata. CSIE merupakan singkatan dari Central Student for Inclusive Education satu aliansi dengan Sekolah Tumbuh, namun orientasi didirikannya CSIE adalah untuk para guru dan peneliti. Namanya juga Central Student, sehingga bisa dibayangkan CSIE ibarat gudang atau tempatnya studi untuk peneliti yang penasaran dengan Sekolah Tumbuh sehingga banyak koleksi yang tertampung di perpustakaan CSIE adalah paper seperti artikel, skripsi, thesis dan penelitian-penelitian lainnya dengan syarat judul atau topik penelitiannya dikaitkan dengan Sekolah Tumbuh. Oleh karena itu proses input koleksi harus memperhatikan betul metadata yang terkandung di tiap koleksi (misal: artikel jurnal). Meskipun sebelumnya aku dan mas Nanda pernah memiliki pengalaman input koleksi ketika semester 5 pada mata kuliah Manajemen Perpustakaan (beda kelompok) tetapi praktik input koleksi pada kesempatan magang ini berbeda. Kami harus memperhatikan koleksinya termasuk jenis apa, Penulisnya siapa? Apakah melibatkan banyak penulis atau merupakan satu badan institusi? Bagaimana penelitiannya? Abstraknya menerangkan tentang apa? Dan seterusnya.
Tentu sebelum proses input, kami melakukan briefing tentang aturan input metadata. Memang ada standar aturannya, tetapi kami menyesuaikan situasi dan kondisi tempat perpustakaan. Hal yang perlu diingat adalah bila sudah menetapkan aturan, diharapkan konsisten (tidak berubah-ubah) karena aturan dalam mengelola sebenarnya fleksibel yang penting istiqomah. Proses briefing berjalan lancar, kami memulai input metadata dimulai dari artikel jurnal. Aku bertindak sebagai penjaga server sekaligus input koleksi. Sesaat setelah input koleksi, istirahat sejenak sambil melihat hasil input metadata dari anggota lain. Ternyata ada sekian data input yang menyeleweng aturan, siapa ini yang meng-input? Anggota kelompok hanya berjumlah empat orang, aku, mas Nanda, Suster Ambrosia, dan Annisa. Mereka aku tanyai satu-satu, “Siapa yang input koleksi ini? Mengapa banyak typo, dan kode inventaris yang tidak sesuai dengan database?” Tidak ada yang mengaku, termasuk mas Nanda. Dia satu-satunya yang masih fokus input koleksi. Setelah aku telisik, ya ternyata benar. Adanya kesalahan format input yang terjadi berkali-kali karena tidak dari awal ketahuan.
“Bagian ini (sambil menunjuk), kosong. Pakai nomor aturan, ada database excel. Kenapa kamu tidak pakai?” Bagian ini harusnya kosong. Gunakan penomoran sesuai dengan yang ada dalam database excel. Kenapa kamu tidak menggunakan itu?
“Mana? Excel mana?” Mana, yang mana? Excel yang mana?
“Ini, data ada dalam laptop kamu. Pakai ini, hubungkan judul dan nomor sesuai database excel laptop ini.” Ini, datanya ada di dalam laptop kamu. Pakai ini sebagai pedoman, samakan nomor inventarisasi dengan judul koleksi yang sesuai dalam database Excel di laptop ini.
“Ohh. Kamu belum jelas ini. Maaf, aku tidak tahu. Aku perbaiki.” Owalah. Kamu belum menjelaskan ini ke aku. Maaf, aku tidak tahu. Aku perbaiki.
Yha ternyata setelah briefing, aku lupa menerjemahkan aturan yang disepakati kepada mas Nanda menggunakan isyarat. Dampaknya ia tidak mengetahui aturan baru yang kita gunakan sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Untung baru lingkup artikel jurnal, belum ke koleksi jenis skripsi atau thesis.
Cerita miskomunikasi sebenarnya banyak terjadi, walau dari hal kecil misalnya. Dulu ketika awal maba, miskomunikasi berujung aku yang emosi. Namun untungnya mas Nanda menyingkapinya dengan penuh kesabaran sehingga berbesar hati untuk menyadari bahwa dia yang kurang paham. Lambat laun aku menyadari bahwa tindakan sumbu pendek membuat malu diri sendiri, hingga perlahan akhirnya aku bisa merevisi sifat buruk mudah marah karena sulitnya berkomunikasi dengan mas Nanda (waktu itu). Kalau sekarang bila terjadi miskomunikasi maka kami segera melakukan cross-check lantas kelihatan siapa yang salah. Saya atau mas Nanda? Pokoknya berakhir canda tawa. Alhamdulillah banyak hikmah dan manfaat yang aku dapat selama berteman dengan mas Nanda dan juga dengan teman Tuli lainnya.
Tidak hanya cerita yang ujung-ujungnya miskomunikasi, di post sebelumnya yang berjudul “Bagaimana Rasanya Memiliki Teman Tuli” aku menuliskan cuplikan kisah miskomunikasi kala masih maba. Masih terulang, bedanya sekarang sudah mampu mengontrol keadaan. Mengubah suatu kesalahpahaman menjadi canda tawa dengan kalimat “Kepiye to kamu iki.” Sambil tertawa. Mengobrol dengan teman Tuli tidak selalu terjadi miskom, bila sekali nyambung langsung akur dan bisa mengikuti. Salah satu talenta yang belum bisa aku capai dari teman Tuli adalah kepekaannya. Perlu diingat bahwa komunikasi bahasa isyarat tertuju pada dua hal, yakni isyarat tangan dan isyarat melalui raut muka atau ekspresi. Mereka sudah terbiasa dengan penyampaian komunikasi secara totalitas menggunakan ekspresi bergantung pada suasana pembawaan isi dari informasi, semisal informasi yang disampaikan memiliki suasana sedih maka informan harus menyampaikannya dengan raut ekspresi sedih pula, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu tidak jarang selama magang, mas Nanda menanyakan “Hari ini, kenapa kamu? Dari pagi, tidak berbicara. Diam. Ada apa?” Ternyata aku sendiri sudah menyembunyikan sesuatu. Raut muka nggak bisa ditipu, wkwkw.
Itulah penjelasan bagaimana terjadinya miskom, pengalaman miskom dari tempat magang pertama dan kedua. Semoga ada hikmah yang bisa diambil. Cerita belum berakhir, masih ada satu tempat magang yang belum kami (aku & mas Nanda) singgahi, bisa jadi to be continued.
0 komentar:
Posting Komentar