Pengalaman JBI di Fisipol UGM
Lagi-lagi halo. Bagaimana kabarnya? Saya harap baik-baik saja, terus berkembang menjadi lebih baik. Kalimat syukur, Alhamdulillah saya sampaikan sebagai bentuk rasa syukur karena masih diberi kesempatan, semangat, niat sekaligus ide untuk menulis plus ingatan yang cukup awet. Karena tulisan kali ini (lagi-lagi) tidak se-fresh kemarin. Kalau di postingan sebelumnya saya sempat membahas tentang pengalaman sekaligus ilmu yang saya dapat ketika bertugas menjadi JBI di acara wisuda UIN Sunan Kalijaga, sedangkan untuk postingan ini ‘kesegaran’ berita atau pengalamannya sedikit lebih lama (kuno) karena tidak segera ditulis-abadikan di arsip blog ini. Tetapi setidaknya ada niatan sekaligus tindakan untuk merealisasikan ide sekaligus pengalaman dalam bentuk tulisan.
Pada postingan ini tertuju pada pengalaman
JBI di acara konferensi internasional yang bertempat di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Bagaimana awal mula saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi sign
language interpreter di UGM? Agak susah dijelaskan, karena tahu-tahu saya
mendapatkan pesan dari teman sejawat berisi tawaran untuk berpartisipasi
menjadi fasilitator JBI. Syarat utama selain memiliki kompetensi bahasa isyarat
adalah memahami bahasa Inggris, mengingat acara konferensi ini dalam lingkup
internasional.
Modal nekat, ya sedikit. Pada tulisan
sebelumnya (judul : Pergi Ke Surabaya)
saya sempat menyinggung bagaimana ‘kok bisa’ memahami bahasa Inggris sedangkan
saya pribadi tidak gencar mengikuti les atau program belajar yang ditujukan
untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris (khususnya dalam mencapai nilai
TOEFL yang layak). Mumpung ingat, saya paparkan secara singkat tentang
bagaimana saya memahami bahasa Inggris sampai sering diejek lawan bicara “Saya
orang kampung, nggak paham bahasa londo”.
Suatu ilmu ketika dipelajari dengan paksaan
atau tuntutan, rasanya sedikit sulit ilmu tersebut akan masuk dan membekas
dalam ingatan. Namun ketika suatu ilmu dipelajari dengan rasa gembira atau
senang, maka proses masuknya ilmu tersebut akan mudah sekali. Contoh tidak
perlu jauh-jauh, dahulu alat elektronik seperti PDA atau hape dan komputer rata-rata
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama (default), sehingga
siapa pun yang hendak menggunakannya mau tidak mau harus paham (atau pura-pura
paham) dengan bahasa Inggris. Belum lagi internet, saya masih ingat dahulu Facebook
belum menyediakan fitur bahasa Indonesia sehingga ketika ber-sosmed di warnet
saya perlahan memahami kosa-kata yang sering muncul (contoh: like, comment,
login, logout, chat, dan seterusnya). Berawal dari situ saya mulai suka dan
penasaran dengan bahasa Inggris, Alhamdulillah sekarang bisa membaca manga
atau novel berbahasa Inggris (walau perlu waktu & semangat untuk
baca).
Kembali lagi ke pengalaman JBI acara
konferensi UGM. Saya tidak sendiri, kebetulan tandem JBI juga memiliki
kompetensi berbahasa Inggris. Kalau ditimbang, sudah pasti partner jauh
lebih banyak kompetensi sekaligus pemahaman kosa-kata yang dikuasai. Namun pemahaman
kosa-kata yang banyak tetap tidak menutup kemungkinan nantinya kesulitan ketika
bertugas. Sebab tugas JBI secara mendasar adalah mengalih bahasakan, sedangkan tema
acara konferensi sama sekali bukan bidang kami (saya & partner).
Acara konverensi internasional Australia-Indonesia mengusung tema “Valuing
Democracy and Diversity: Equity, Leadership, and Social Justice”. Tidak ada
dari kami dari jurusan politik, sama sekali tidak, sehingga satu-satunya solusi
adalah membaca paper yang nantinya dipresentasikan. Catat, paper-nya
berbahasa Inggris btw.
Kalau dibandingkan bobot mikir antara
pengalaman JBI acara AICIS 2023 dengan JBI acara AIC (Australia-Indonesia
Conversation) maka lebih berat di UGM bulan Juli kemarin. Mengapa begitu?
Jawaban terletak pada tema dan isi materi yang disampaikan selama acara
berlangsung. Kalau acara AICIS 2023 tema pembahasan terkunci pada hal fiqih,
kemanusiaan, dan kedamaian. Sedangkan acara AIC pembahasan tertuju dalam
lingkup ilmu politik, dan kesenian. Mau punya kemampuan bahasa Inggris yang
keren pun, tetap kesulitan (ketika serta-merta, tidak baca paper dulu)
karena kami sebagai JBI selama bertugas perlu mikir dua sampai tiga kali.
Artinya seorang JBI selama bertugas harus dapat ber-multitasking antara mendengarkan-menerjemahkan-menjelaskan
secara serentak. Bila acara menggunakan bahasa Indonesia, maka mikirnya
(mungkin) dua kali. Tetapi kalau bukan bahasa Ibu kami/saya, ya mikirnya lebih
dari dua kali.
Berat di awal, namun seru secara
keseluruhan. Secara langsung saya mau tidak mau harus memahami tentang politik
dan kesenian, sekaligus tahu tentang isu-isu yang berhubungan dengan dua tema
tersebut. Acara berlangsung secara hybrid, artinya luring & daring.
Para panitia termasuk fasilitator JBI datang ke lokasi acara yakni di Fisipol
UGM, sedangkan untuk peserta atau pemateri tertentu berpartisipasi secara
daring menggunakan platform Zoom. Jadi selama dua hari, saya dengan partner
berhadapan dengan kamera laptop M2.
Semoga kedepannya mendapat kesempatan atau
pengalaman lagi sehingga saya bisa berbagi ilmu kepada pembaca sekalian, barang
kali ini merupakan hal yang baru wkwk. Karena saya pernah mendengar bahwa
seorang JBI itu ‘mudah’ tinggal gerak ini & itu menggambarkan maksud ini
& itu. Padahal sebenarnya tidak sesimpel itu, belum lagi berkecimpung dalam
dunia baru sehingga perlu banyak penyesuaian.
Akhir kata, sekali lagi saya bersyukur
mendapatkan pengalaman baru dan dapat berbagi ilmu melalui tulisan. Semoga
kedepannya ada pengalaman baru lagi, dan lebih berwarna lagi. Postingan ini
akan masuk dalam kategori Accession karena merupakan suatu pencapaian
dapat berpartisipasi dalam acara internasional yang diadakan dari kampus yang
pernah nolak saya. Saya Naufal, seorang notetaker, sekarang lagi proses
skripsian. Mohon doanya semoga diberi kelancaran. Sampai ketemu lagi di lain
tulisan.