Apakah aku bisa mengalihkan hobi ‘itu’ menjadi membaca? (Day 8)



Apakah aku bisa mengalihkan hobi ‘itu’ menjadi membaca?


Tulisan ini dibuat terdorong ketika aku sedang membaca novel yang aku beli seharga 100 ribu lebih.

Karangan Tere Liye, berjudul Rindu. Novel setebal 400 halaman lebih, aku membelinya ketika berkunjung di Gramedia saat masih awal semester. Aku masih ingat, kala itu aku membelinya karena… bingung mau membeli apa. Sampai akhirnya, jatuh pilihan membeli itu novel sebagai… gimana ya aku mengucapkannya. Daripada tidak membeli apa-apa, nah mungkin itu lebih tepat.

Aku masih ingat, ketika aku melaporkan hal tersebut kepada kedua orang tuaku (tentang berkunjung ke Gramedia, kemudian membeli novel seharga sekian). Mereka tertawa, Ibu merespon menyeringai. Ya, itu wajar. Karena kedua orang tuaku tahu betul sifat/perilaku atau kesukaanku yang tidak menyukai membaca buku. Belum suka, perlu dicatat hehe.

Maksudku, aku juga sempat berpikir setelah membeli. Khususnya setelah beberapa hari kemudian, “Ngapain waktu itu aku membeli novel beginian.”.

Ditambah lagi, tiap kali aku mencoba membacanya. Hampir tidak ada selera, atau malah bisa aku katakan “Bingung.”. Mungkin perihal aku yang tidak begitu cocok dengan selera sastra yang dikarang oleh Tere Liye.


Terlepas dari itu semua, aku akhirnya mencoba membacanya kembali. Setelah dua tahun terbuang, maksudku disimpan di dalam dus tempat kos. Sebelumnya pernah aku baca, tetapi tidak sampai selesai. Karena banyak gangguan, terlebih juga kurang bersemangat. Sampai akhirnya di liburan semester 5-6 ini. Aku berencana untuk menyelesaikan itu novel, karena aku sudah membelinya. Ya, sudah seharusnya aku membacanya juga ya kan?

Aku membaca model ‘nyemil’. Yakni membaca yang pelan-pelan, atau tengah-tengah. Cepat-cepat tidak, maupun pelan. Pertengahan. Yang terpenting proses halaman yang dibaca itu terus bertambah, berproses. Seperti layaknya jajan, pelan-pelan dimakan. Nanti juga habis.

Saat ini, aku sudah mencapai pertengahan cerita. Di mana si Ambo Uleng yang menjadi tokoh utama (menurutku). Namun cara pengarang menyampaikan, diselipkan dengan tokoh lain. Sehingga mc (tokoh utama) tidak disorot terlalu sering, namun cara pengarang ‘Tere Liye’ menceritakan membuat pembacanya seperti penasaran. Bagaimana nasib si tokoh utama. Karena pengarang tidak menunjukkannya sering-sering, melainkan pada adegan atau scene tertentu. Dari sini, aku mulai memahami. Oh mungkin karena ini, karangan Tere Liye itu diminati.

Jarang-jarang novelis yang menceritakan model seperti ini. Umumnya, namanya mc (main character) sering disorot. Atau malah sudut pandang menceritakan si mc tersebut. Namun karangan Tere Liye yang satu ini tidak. Dia cenderung fokus pada tokoh (yang sebenarnya mereka bukan tokoh utama, atau malah bisa jadi?), dan diam-diam menyelipkan cerita dari cerita yang menceritakan tokoh lagi. Mereka para pembaca, akan menganggap tokoh utama ya si ‘Ambo Uleng’ ini yang diselipkan dalam cerita-cerita.

Plus, cara penyampaiannya juga diselipi dengan penggambaran/ilustrasi kata yang cukup sesuai mudah dicerna. Hm… jadi ini, alasannya.

Namun tidak, secara jujur. Aku tidak begitu meminati ini, apakah setelah menyelesaikan novel ‘Rindu’ ini, aku tertarik untuk membaca karangan Tere Liye yang lain juga? Ya, bisa jadi sih hehehe.


Waktu aku membaca bervariasi. Bahkan tempatnya saja bisa di mana saja, asalkan bersih. Entah itu di kampus, ketika waktu istirahat aku membuka lembaran dan mulai membaca sambil mendengarkan musik lo-fi. Atau mungkin ketika sedang benar-benar senggang, biasanya aku membaca di kos. Ya… cukup variasi, yang terpenting proses halaman yang terbaca itu bertambah. Wkwk.

Yah, semoga dengan ini bisa menjadi proses untuk mengalihkan hobi kepada kegiatan/aktivitas yang lebih baik!

CONVERSATION

0 komentar: