Apakah aku bisa mengalihkan hobi ‘itu’ menjadi membaca?
Tulisan ini dibuat terdorong ketika aku
sedang membaca novel yang aku beli seharga 100 ribu lebih.
Karangan Tere Liye, berjudul Rindu. Novel
setebal 400 halaman lebih, aku membelinya ketika berkunjung di Gramedia saat
masih awal semester. Aku masih ingat, kala itu aku membelinya karena… bingung
mau membeli apa. Sampai akhirnya, jatuh pilihan membeli itu novel sebagai… gimana
ya aku mengucapkannya. Daripada tidak membeli apa-apa, nah mungkin itu
lebih tepat.
Aku masih ingat, ketika aku melaporkan hal
tersebut kepada kedua orang tuaku (tentang berkunjung ke Gramedia, kemudian
membeli novel seharga sekian). Mereka tertawa, Ibu merespon menyeringai. Ya,
itu wajar. Karena kedua orang tuaku tahu betul sifat/perilaku atau kesukaanku
yang tidak menyukai membaca buku. Belum suka, perlu dicatat hehe.
Maksudku, aku juga sempat berpikir setelah
membeli. Khususnya setelah beberapa hari kemudian, “Ngapain waktu itu aku
membeli novel beginian.”.
Ditambah lagi, tiap kali aku mencoba
membacanya. Hampir tidak ada selera, atau malah bisa aku katakan “Bingung.”.
Mungkin perihal aku yang tidak begitu cocok dengan selera sastra yang dikarang
oleh Tere Liye.
Terlepas dari itu semua, aku akhirnya
mencoba membacanya kembali. Setelah dua tahun terbuang, maksudku disimpan di
dalam dus tempat kos. Sebelumnya pernah aku baca, tetapi tidak sampai selesai.
Karena banyak gangguan, terlebih juga kurang bersemangat. Sampai akhirnya di
liburan semester 5-6 ini. Aku berencana untuk menyelesaikan itu novel, karena
aku sudah membelinya. Ya, sudah seharusnya aku membacanya juga ya kan?
Aku membaca model ‘nyemil’. Yakni membaca
yang pelan-pelan, atau tengah-tengah. Cepat-cepat tidak, maupun pelan.
Pertengahan. Yang terpenting proses halaman yang dibaca itu terus bertambah,
berproses. Seperti layaknya jajan, pelan-pelan dimakan. Nanti juga habis.
Saat ini, aku sudah mencapai pertengahan
cerita. Di mana si Ambo Uleng yang menjadi tokoh utama (menurutku). Namun cara
pengarang menyampaikan, diselipkan dengan tokoh lain. Sehingga mc (tokoh utama)
tidak disorot terlalu sering, namun cara pengarang ‘Tere Liye’ menceritakan
membuat pembacanya seperti penasaran. Bagaimana nasib si tokoh utama. Karena
pengarang tidak menunjukkannya sering-sering, melainkan pada adegan atau scene
tertentu. Dari sini, aku mulai memahami. Oh mungkin karena ini, karangan
Tere Liye itu diminati.
Jarang-jarang novelis yang menceritakan
model seperti ini. Umumnya, namanya mc (main character) sering disorot. Atau
malah sudut pandang menceritakan si mc tersebut. Namun karangan Tere Liye yang
satu ini tidak. Dia cenderung fokus pada tokoh (yang sebenarnya mereka bukan
tokoh utama, atau malah bisa jadi?), dan diam-diam menyelipkan cerita dari
cerita yang menceritakan tokoh lagi. Mereka para pembaca, akan menganggap tokoh
utama ya si ‘Ambo Uleng’ ini yang diselipkan dalam cerita-cerita.
Plus, cara penyampaiannya juga diselipi
dengan penggambaran/ilustrasi kata yang cukup sesuai mudah dicerna. Hm… jadi
ini, alasannya.
Namun tidak, secara jujur. Aku tidak begitu
meminati ini, apakah setelah menyelesaikan novel ‘Rindu’ ini, aku tertarik
untuk membaca karangan Tere Liye yang lain juga? Ya, bisa jadi sih hehehe.
Waktu aku membaca bervariasi. Bahkan
tempatnya saja bisa di mana saja, asalkan bersih. Entah itu di kampus, ketika
waktu istirahat aku membuka lembaran dan mulai membaca sambil mendengarkan
musik lo-fi. Atau mungkin ketika sedang benar-benar senggang, biasanya aku
membaca di kos. Ya… cukup variasi, yang terpenting proses halaman yang terbaca
itu bertambah. Wkwk.
Yah, semoga dengan ini bisa menjadi proses
untuk mengalihkan hobi kepada kegiatan/aktivitas yang lebih baik!
0 komentar:
Posting Komentar