Proses Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Kedua (Day 21)


Pengalaman aku menggunakan Inggris sebagai bahasa kedua semenjak SD. Dari kecil, aku memiliki penasaran akan bahasa yang dibalik-balik artinya. Contoh : Farewell Party diartikan pesta perpisahan/pamitan, dan masih banyak lagi contoh kalimat yang kalau dibahasa-inggriskan harus dibalik atau ketika membaca sebaliknya. Aku masih ingat ketika mendapatkan ponsel pertamaku, yang dulu termasuk ponsel dengan fitur bahasa Indonesia —aku malah menggantinya menjadi bahasa default yakni bahasa Inggris. Pada tahun 2011 ke bawah, jarang telepon genggam yang memiliki fitur bahasa Indonesia, sehingga dari rasa penasaran tersebut stok kosa-kata mulai bertambah ditampung.

Ketertarikanku dalam berbahasa Inggris mulai naik didukung dengan adanya laptop. Kala itu masih Windows 7, dan internet masih berbasis 3G. Itupun sudah cepat banget (30-120 KBps) mengingat aplikasi zaman itu jarang yang bergiga-giga. Dari mengenal laptop dan internet, rasa penasaran akan bahasa Inggris tentunya semakin meninggi. Hingga akhirnya aku mengetahui bagaimana struktur kalimat bahasa Inggris.

Aku masih ingat kalau dulu pernah menulis buku harian (namun sayang, nggak berkelanjutan. Karena belum ada minat suka nulis) menggunakan bahasa Inggris, kalau sekarang artifaknya masih ada… mungkin akan sulit dibaca karena menulis dengan kosa-kata seadanya (yang diingat) dan jangan lupakan tentang verb yang berantakan pastinya. Jangankan verb, kosa-kata saja masih sedikit —paling yang gampang diingat adalah kata bahasa Indonesia yang merupakan kata serapan dari bahasa Inggris. Contoh seperti: kalem (calm), telpon (telephone), kamera (camera), dan seterusnya.


Stok kosa-kata tersebut semakin bertambah ketika kenal dengan orang-orang luar melalui Facebook. Di antara daftar pertemanan saya dulu, sebagian berasal dari luar negeri. Entah kenapa algoritma Facebook zaman itu sudah top banget menurutku, karena saat ini mereka yang masih berteman di Facebook sekarang juga sedang menempuh jenjang perguruan tinggi atau sedang bekerja. Bisa diartikan kala itu aku menemukan teman dari luar negeri yang sebaya.

Kemampuan berbahasa Inggris dari segi literatur-tulisan mulai terasah dengan mengenal game. Perlu diingat, pada tahun 2015-an jarang sekali game yang mendukung tampilan bahasa antar muka menggunakan bahasa Indonesia. Rata-rata menggunakan bahasa Inggris. Tidak ada pilihan lain selain harus mengira-ngira artinya apa atau meninggalkan game tersebut dan mencari game yang support bahasa Indonesia. Beda dengan sekarang, jangankan antar muka bahasa Indonesia —sampai ada game yang voiceline karakternya menggunakan bahasa Indonesia! Sebagian ada yang menilai tidak pas, atau tidak cocok.

Dari minat akan nge-game tersebut, pengetahuan berbahasa Inggris semakin terasah. Karena sering bertemu dengan orang global, tidak dibatasi oleh region atau negara sehingga ada kemungkinan bertemu orang luar atau malah lepas benua. Tentunya bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Namun jangan membayangkan aku chatting ber-bahasa Inggris dengan lancar mulus. Sering terjadi miskomunikasi karena apa yang aku maksudkan ternyata salah menggunakan istilah kata/kalimat sehingga “What? I don’t understand wydm.”. Yah kadang malu sendiri, apalagi kalau mengobrolnya via voice.



Selain di Blog, aku juga menulis di platform yang lain. Medium. Merupakan platform yang menurutku berbasis blogging namun lebih serius, dan yang pasti ‘berbobot’. Postingan yang ada di Medium, hampir semuanya worth dan memiliki kandungan ilmu pengetahuan. Setidaknya tidak asal-asal mengetik lalu posting, seolah-olah para author kondang di Medium mereka melewati tiga fase dalam memproduksi sebuah karya dalam bentuk postingan. Yakni,

  1. Pre-production
  2. Production
  3. Post-production

Jadi apa yang ditulis benar-benar terstruktur rapi, jelas, tersampaikan apa yang dimaksudkan kepada pembaca.

Melalui Medium, aku mencoba menulis menggunakan bahasa Inggris dengan kemampuan TOEFL seadanya. Karena aku mengakui lemah dalam hal verb, seperti kata ganti atau verb 1-2-3. Tetapi sayang, tidak bertahan lama karena dalam menulis berbahasa Inggris —aku harus melewati beberapa fase mengingat bahasa Inggris bukanlah bahasa Ibu. Jadi menulis menggunakan bahasa Inggris, aku harus membuat draft-nya terlebih dahulu kemudian menerjemahkannya secara manual, kemudian mengecek kaidah bahasa Inggris menggunakan Grammarly.

Ya memang, melewati tiga tahap. Bikin malas. Cepat bosan. Belum lagi kalau bingung bahas topik apa di Medium. Tidak mungkin dong, aku venting atau rant di Medium. Berbeda kalau Blog atau Twitter, itu pun penggunaan bahasa tetap aku filter sesekali sehingga tidak menimbulkan salah arti. Bahasa Inggris walau bagaimana pun akan dibutuhkan, apalagi bila aku/kamu/kalian hendak berkarir. Keterampilan bahasa Inggris menjadi bobot atau nilai plus pastinya.

 

Hari ke-21 selesai. Pembahasannya seperti bercerita, namun sebenarnya aku menjelaskan perihal proses aku dalam belajar bahasa Inggris secara akademis maupun otodidak. Terlepas dari hal yang tidak-tidak. Total kata yang ditulis sebanyak 680 kata. Lumayan ya, aku baru saja menyelesaikan tugas essai yang menjadi objektif UTS pada suatu mata kuliah. Sampai bertemu di hari selanjutnya!

CONVERSATION

0 komentar: