Proses menulis terdiri dari beberapa tahap, dilansir dari buku ‘Writing Without Teacher’ karya Peter Elbow menjelaskan bahwa penyampaian tulisan yang bagus melewati beberapa filter sampai paragraf tersebut menjadi ‘matang’, dan bisa dipahami layaknya paragraf dalam tulisan atau buku ekspositori.
Jangankan menulis
teks ekspositori, fiksi pun ada pertimbangannya. Mulai dari kejelasan
alur/plot, cara penggambaran suasana yang disampaikan via tulisan kata-kata,
sampai seni dalam mengolah kata agar kiranya pembaca dapat memahami dan
mengalir mengikuti apa yang diceritakan oleh penulis. Beberapa mengatakan kalau
menulis fiksi lebih susah dibandingkan ekspositori, dikarenakan fiksi cenderung
penuh penggambaran-imajinasi yang nyaris tanpa ada referensi sehingga pembaca
harus membayangkan sendiri agar cerita yang ditulis itu sampai.
Ekspositori
adalah tulisan yang memiliki kandungan fakta, disajikan dalam bentuk analisa
proses sehingga ketepatan informasi atau keterangan suatu peristiwa/fakta/data
dapat tersampaikan kepada pembaca. Contohnya seperti buku pelajaran, buku teori
—intinya buku yang kalau kita baca, bikin malas, mengantuk, atau bahkan berpikir
“Ini buku apaan sih, menjelaskan apa.”. Dari rasa bingung karena tidak paham, membuat
tubuh semakin malas atau tidak tertarik untuk meneruskan buku bacaan kecuali
karena kepentingan atau benar-benar tertarik akan informasi tersebut.
Kembali
lagi ke proses menulis, aku dalam menulis, contohnya di blog ini melewati
beberapa tahap proses ‘penggodokan’. Ya, walau tidak semua. Rata-rata melalui
proses ini, sehingga tidak jarang blog tidak update selama beberapa hari atau
bahkan satu pekan lebih. Proses ‘penggodokan’ ini dilakukan untuk men-seriusi
dalam menulis, sehingga memberikan kesan,
“Aku
menulis tulisan ini, pasti ada yang baca. Jangan sampai yang baca itu bingung,
atau tidak paham.”
Supaya
pesan atau informasi yang aku tulis dapat sampai ke pembaca, maka mau tidak mau
dalam menulis harus dilakukan proses ‘penggodokan’ atau ‘memasak’. Berikut beberapa fase yang aku gunakan dalam
menulis di blog ini, dalam konteks tulisan ‘yang teratur’ bukan ‘yang tidak
teratur’.
Pencatatan Ide Apa Adanya
Suatu
ketika, masa, keadaan ide dapat muncul. Entah ketika sedang di kos, perjalanan,
makan, minum, tidur, bermain game, menulis, ya— kegiatan apapun itu. Namanya
juga ide, ketika dipaksa malah nggak keluar, tetapi datangnya bisa sekarang-sekarang.
Itulah ide, sehingga kala aku mendapatkan ide maka harus secepatnya ditulis,
diikat.
Proses
mengikat ‘ide’ aku menggunakan media dalam bentuk apapun, rata-rata melalui
ponsel. Karena lebih portabel dan yang pasti sering aku bawa. Dompet boleh
lupa, tidak dibawa. Tetapi ponsel jangan. Zaman sekarang pembayaran tidak
harus menggunakan cash, melainkan via transfer atau scan kode QR via
M-Banking, OVO, Shopee-pay, dan sebagainya. Tiap ponsel (smartphone)
pasti ada aplikasi untuk mencatat. Aku menggunakan Google Keep atau Telegram,
tidak Whatsapp. Ya suka-suka, antara kedua aplikasi tersebut. Alasannya karena
loadingnya cepat, dan tidak bertele-tele.
Ide yang
muncul secara abstrak disimpulkan menjadi beberapa poin. Tergantung ide yang
keluar, adalah bagaimana caranya agar bisa disampaikan dalam bentuk postingan.
Biasanya aku membuat rangkuman apa yang ingin aku sampaikan. Contoh, aku tiba-tiba
mendapatkan ide akan ‘Antivirus yang kuat & terpercaya’. Karena penjelasannya
bisa memanjang-lebar, aku harus membuatnya simpel
Ide → Antivirus Kuat & Terpercaya
Kata kunci → Antivirus, Sistem Operasi, Windows,
Windef, Smadav, McAfee …
Setelah ide
ditulis, maka sewaktu-waktu aku lupa, tinggal membaca lagi catatan yang ‘memancing’
akan munculnya ide tersebut.
Mencari Landasan Teori
Istilahnya
ke-skripsi-an yak wkwk. Karena aku bertujuan membuat postingan dengan pemaparan
opini yang valid dan ‘mungkin’ bisa dipertimbangkan, maka setidaknya aku harus
memiliki dasar dalam ber-argumen. Oleh karena itu tahap selanjutnya adalah
mencari referensi. Bila aku hendak menuliskan post yang bebas atau bersifat ‘santai’
maka tahap ini akan di-skip.
Gaya
menulis di blog pribadi tidak seketat seperti karya ilmiah layak skripsi. Ya
perihal blog pribadi, aturan dan gaya penulisan terserah yang menulis. Jadi aku
menggunakan referensi di internet, situs-situs yang kiranya ‘valid’, kalau
sedang niat banget ya browsing jurnal atau artikel ilmiah untuk
menunjang statemen-statemen yang aku tulis.
Contoh, ide sudah ada yakni ‘Antivirus Kuat & Terpercaya’. Nantinya pemaparan tulisan pasti menyangkut akan,
- Penjelasan atau definisi antivirus dalam lingkup komputer
- Bagaimana antivirus bekerja
- Mekanisme virus komputer, dan cara pencegahannya
- … dan seterusnya.
Ya walau hanya
sebatas blog, namun totalitas dalam menulis seperti bikin makalah wkwk. Setelah
poin-poin informasi/referensi yang dibutuhkan sudah dibaca dan dipahami maka
lanjut ke tahap berikutnya.
Mulai Menulis
Sebelumnya
hilangkan pikiran, tulisanku bagus nggak ya. Hilangkan! Karena aku menulis
di blog-ku sendiri, pribadi. Yang baca saja mungkin bisa dihitung pakai jari,
jadi… lepaskanlah! Mengalir! Menulislah sesuai dengan ide yang sudah dibuat!
Pada tahap ini, spirit menulis bebas (Free Writing) sangat
diperlukan. Karena nihil, walaupun sudah punya bejibun banyak referensi tetapi tidak
bisa disampaikan … ya podo wae.
Jumlah
karakter/kata untuk postingan blog, aku mematok batasan adalah dua lembar
halaman Word. Ya berkisar 500-700 kata, kalau bisa lebih. Namun belakangan ini,
pada tantangan menulis 30 hari seringnya 500-700 kata saja. Itupun sudah
berjibaku mencari ide wkwk.
Untuk
penggunaan media dalam menulis, semenjak semester satu aku mulai belajar
membiasakan diri menulis di laptop & ponsel. Berat memang, selama tiga
tahun lebih sering menulis menggunakan pena & kertas. Aplikasi yang
digunakan relatif, tergantung situasi kondisi.
Word → ketika sedang on-time menggunakan
laptop
Google Keep
→ ketika sedang di luar jangkauan
laptop
Notion → biasanya aplikasi untuk filter
tahap akhir, tapi pernah aku pakai ketika sedang ingin
Apakah
menulisnya sambil mendengarkan lagu? Atau berada di tengah keramaian/kesepian?
Relatif, untuk saat ini aku biasa menulis di kamar/kos, tidak ada orang kecuali
saya. Sendiri. Sunyi. Namun aku harus membiasakan diri untuk menulis di tengah
keramaian. Sedangkan untuk lagu —ya terkadang, tapi lagu bisa menyebabkan
pikiran jadi belok karena ikut menikmati nada dari lagu tersebut.
Narasi-kan!
Metode ini
pernah disampaikan oleh dosen saya, di semester 1 & 5. Berbeda dosen, namun
inti yang disampaikan adalah sama yakni tentang teknik kepenulisan. Setelah
menulis sekian paragraf, kemudian kiranya cukup maka dianjurkan untuk membaca
kembali dengan bersuara. Tujuannya adalah untuk mengetahui penempatan kata yang
tidak pas ketika diucap, atau rasanya aneh. Apalagi kalau tulisannya berbahasa
Indonesia, kita orang Indonesia sudah terbiasa dengan kalimat-paragraf
Indonesia. Ketika diucap pasti terasa pas-tidaknya penempatan kalimat tersebut.
Proses
narasi ini termasuk ‘penggodokan’ tulisan, sehingga dari tulisan yang tadi mentah
kemudian direbus agar semakin matang dan terus matang. Jadi pembaca tidak
merasa aneh, bingung, atau malah tidak tertarik atas tulisan yang ditulis hanya
karena tidak bisa dipahami.
Tahap
selanjutnya akan aku jelaskan di hari kedua belas (12). Agar besok masih ada ide
untuk menulis di tantangan 30 hari wkwk.
Menulis
hari kesebelas dengan total kata mencapai 1000. Wah banyak ya, apakah ini rekor
pertama kali? Topik yang dibahas adalah tentang teknik penulisan. Untungnya aku
ada beberapa referensi yang masih ingat di memori kepala. Jadi aku bisa menulis
apa saja yang masih teringat, dicampuri opini/argumen sesuai dengan pengalaman
pribadi dalam pelaksanaan teknik menulis.
Hari kedua
belas, penjelasan bebas!
—
Berikut link/referensi yang aku gunakan,
Peter Elbow: Writing Without Teachers
Teks ekspositori – pengertian, ciri, jenis, contoh, unsur, struktur – ApaYangDimaksud.com
0 komentar:
Posting Komentar