Tentang Cita-Cita (Day 10)

Tentang Cita-Cita.

Berumur kepala dua, semester enam, sebentar lagi KKN, PPL, Skripsi, dan wisuda. Bagaimana dengan cita-cita? Apakah tercapai sesuai ekspektasi ketika masih duduk di bangku SD? Sampai sekarang, prosesnya sampai mana?

Hahaha, ketika ada yang menanyakan “Cita-citamu apa Fal?”. Jawabannya bisa berubah-ubah. Lebih tepatnya aku harus memaparkan bagaimana perkembangan mimpi/cita-cita dari SD sampai sekarang sudah menjadi pelajar di salah satu perguruan tinggi. Untung ada ide untuk menulis ini, pada tantangan 30 hari menulis. Besok-besok ketika ada yang tanya, langsung cek linimasa blog ini hehe. Aku sudah memiliki cita-cita, bayangan ingin jadi apa kelak. Sampai apa yang harus aku lakukan untuk menunjang cita-cita tersebut hampir terpikir dengan jelas. Meskipun masih seumuran SD, aku merasa minat/pasion-ku dibidang per-komputeran sudah kentara jelas.


Programmer



Mulai dari SD, ingin menjadi seorang programmer. Berawal dari video animasi yang dibuat oleh Alan Becker, menuntun anak kecil berusia sebelas tahun untuk browsing internet didasari rasa penasaran. Sampai akhirnya belajar secara otodidak menggunakan program ‘Macromedia Flash 8’. Program tersebut multi fungsi, bisa dipakai untuk membuat animasi ataupun program yang berekstensi ‘flash’. Bergengsi sekali di masanya, sekarang sudah R.I.P perihal keamanan dan jarang orang menggunakan.

Dari program ‘Macromedia Flash 8’ belajar secara otodidak, perlahan paham bagaimana logika pemrograman secara dasar berjalan. Adalah memahami bagaimana program berjalan, apa saja variabel yang dilibatkan, apa saja perintah yang dimasukkan, dan masih banyak lagi. Keinginan untuk menjadi seorang programer makin menjadi-jadi diikuti dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Namun perlu dicatat, memang aku benar-benar penasaran akan hal tersebut tetapi bukan berarti perihal sekolah tidak terbengkalai. Jawabannya adalah terbengkalai!

Bisa dibilang terbengkalai karena nilai sekolah dari SD sampai SMP (MTs) semuanya pas-pasan. Tidak kurang, tidak lebih. Ya sebagian besar ada juga yang je-blok. Dari rasa keingintahuan yang besar akhirnya dapat memahami bagaimana logika pemrograman bekerja. Namun dibayar dengan nilai akademis legal yang hancur dan dikatakan bebal.

Keinginan menjadi seorang programmer kian naik, namun pada akhir tahun pembelajaran kelas 3 MTs terjadi penurunan yang drastis. Bisa aku katakan waktu itu, semakin jauh dan jauh... banget untuk meraih cita-cita atau mimpi akan menjadi programmer. Dikarenakan suatu hal tertentu, namun perubahan tersebut tidak aku disesali malah menjadi anugerah.


Penulis



Apapun itu, entah itu handal atau kondang —tidak peduli yang penting ingin menjadi penulis. Perubahan cita-cita dari pengolah otak nan logika menjadi sastra mendayu tajam bagai pujangga dipengaruhi oleh faktor jurusan pada jenjang SMA (MA). Jurusan bahasa, apakah sekarang masih ada? Atau sudah sirna? Karena kurang popularitas, banyak anak yang memilih memusingkan diri menghitung kimia dan fisika? Entah. Ya pokoknya itu, aku dulu jurusan bahasa ketika MA (SMA). Sebelum masuk ke jurusan bahasa, minat kepenulisan sudah mulai terasah karena sering melakukan praktik menulis bebas (free writing) ketika kelas 3 MTs.

Aku menuliskan novel pertama dalam bentuk manuskrip tulisan tangan yang dihimpun dalam binder ketika kelas 2 MA. Adalah karya pertama, untuk aku. Meskipun dalam praktiknya ada beta reader, tetapi pada akhirnya tidak dilibatkan ke penerbit untuk diterbit-baca.

Minat untuk menulis semakin naik ketika akhir pembelajaran pada jenjang MA. Sampai kemana-mana bawa pena dan buku kecil, atau membawa papan ujian dengan beberapa lembar kertas binder. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan waktu luang dengan menulis. Apapun itu, bisa menulis bebas atau melanjutkan sekuel novel yang aku tulis waktu itu.

Catatan. Ya, aku memang suka menulis. Namun bukan berarti tulisanku bagus.

Bukti dari pernyataan diatas adalah novel pertama & kedua saya. Dalam bentuk manuskrip tulisan tangan. Dua arc yang aku tulis secara manual, dua tahun kemudian saya baca lagi,

“Maksudnya? Kok aku bingung ya?”

Aku bingung membaca tulisanku sendiri. Bukan dari segi cara menulisnya, melainkan cara kepenulisannya. Artinya tulisanku buruk sekali, aku mengakui dan —biarlah arc novel ini saya berpusing sendiri. Dulu bagaimana beta reader-ku bisa paham, aku sendiri setelah dua tahun ditinggal kemudian ketika menulis arc ketiga ada plot yang flashback. Karena lupa, buka manuskrip tersebut eh malah bingung maksud e kepiye.


Pustakawan & Streamer



Seorang pustakawan yang bertugas menjadi pawang informasi, berusaha agar masyarakat mendapatkan informasi yang berkualitas, menyediakan informasi atau referensi yang dibutuhkan … dan seterusnya. Tugas seorang pustakawan seperti hal yang dijelaskan pada jurnal-jurnal. Keinginan ini tentu dipicu-muncul setelah terjun dalam perguruan tinggi program studi ilmu perpustakaan.

Sedangkan untuk ‘streamer’ —ya keinginan sendiri juga. Tetapi baru muncul kali ini karena keinginan agar ilmu yang aku pelajari selama belajar di perguruan tinggi dapat bermanfaat. Aku melihat peluang di beberapa media sosial yang digunakan untuk siaran langsung, seorang pustakawan —belum ada. Maka dari itu, ada cita-cita untuk menjadi streamer yang memberikan penjelasan/keterangan perihal tentang kepustakawanan atau hal keilmuwan lainnya. Tujuannya adalah agar ilmu yang dipelajari dapat bermanfaat.

 

Ya tiga itu sih, berubahan cita-cita dari masa ke masa. Dari yang awalnya ingin mikir logis, membayangkan program perintah untuk variabel sana-sini, menjadi penulis, sampai jadi pustakawan yang tugasnya kelihatannya hanya menata buku saja wkwk.

Tantangan hari kesepuluh sudah selesai, dengan total 790 kata. Wow, lebih banyak dari hari sebelumnya. Semoga besok hari kesebelas masih lanjut menulis belas wkwk.

 

CONVERSATION

0 komentar: