Tentang Cita-Cita.
Berumur kepala dua, semester enam, sebentar lagi KKN, PPL, Skripsi, dan wisuda. Bagaimana dengan cita-cita? Apakah tercapai sesuai ekspektasi ketika masih duduk di bangku SD? Sampai sekarang, prosesnya sampai mana?
Hahaha, ketika ada yang menanyakan “Cita-citamu apa Fal?”.
Jawabannya bisa berubah-ubah. Lebih tepatnya aku harus memaparkan bagaimana
perkembangan mimpi/cita-cita dari SD sampai sekarang sudah menjadi pelajar di
salah satu perguruan tinggi. Untung ada ide untuk menulis ini, pada tantangan
30 hari menulis. Besok-besok ketika ada yang tanya, langsung cek linimasa blog
ini hehe. Aku sudah memiliki cita-cita, bayangan ingin jadi apa kelak. Sampai
apa yang harus aku lakukan untuk menunjang cita-cita tersebut hampir terpikir
dengan jelas. Meskipun masih seumuran SD, aku merasa minat/pasion-ku dibidang
per-komputeran sudah kentara jelas.
Programmer
Mulai dari SD, ingin menjadi seorang programmer. Berawal
dari video animasi yang dibuat oleh Alan Becker, menuntun anak kecil berusia sebelas
tahun untuk browsing internet didasari rasa penasaran. Sampai akhirnya belajar
secara otodidak menggunakan program ‘Macromedia Flash 8’. Program tersebut
multi fungsi, bisa dipakai untuk membuat animasi ataupun program yang
berekstensi ‘flash’. Bergengsi sekali di masanya, sekarang sudah R.I.P perihal
keamanan dan jarang orang menggunakan.
Dari program ‘Macromedia Flash 8’ belajar secara otodidak,
perlahan paham bagaimana logika pemrograman secara dasar berjalan. Adalah
memahami bagaimana program berjalan, apa saja variabel yang dilibatkan, apa
saja perintah yang dimasukkan, dan masih banyak lagi. Keinginan untuk menjadi seorang programer makin menjadi-jadi
diikuti dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Namun perlu dicatat, memang aku
benar-benar penasaran akan hal tersebut tetapi bukan berarti perihal sekolah
tidak terbengkalai. Jawabannya adalah terbengkalai!
Bisa dibilang terbengkalai karena nilai sekolah dari SD
sampai SMP (MTs) semuanya pas-pasan. Tidak kurang, tidak lebih. Ya sebagian
besar ada juga yang je-blok. Dari rasa keingintahuan yang besar akhirnya dapat
memahami bagaimana logika pemrograman bekerja. Namun dibayar dengan nilai
akademis legal yang hancur dan dikatakan bebal.
Keinginan menjadi seorang programmer kian naik, namun pada
akhir tahun pembelajaran kelas 3 MTs terjadi penurunan yang drastis. Bisa aku
katakan waktu itu, semakin jauh dan jauh... banget untuk meraih cita-cita atau
mimpi akan menjadi programmer. Dikarenakan suatu hal tertentu, namun perubahan
tersebut tidak aku disesali
malah menjadi anugerah.
Penulis
Apapun itu, entah itu handal atau kondang —tidak peduli yang penting
ingin menjadi penulis. Perubahan cita-cita dari pengolah otak nan logika
menjadi sastra mendayu tajam bagai pujangga dipengaruhi oleh faktor jurusan
pada jenjang SMA (MA). Jurusan bahasa, apakah sekarang masih ada? Atau sudah
sirna? Karena kurang popularitas, banyak anak yang memilih memusingkan diri
menghitung kimia dan fisika? Entah. Ya pokoknya itu, aku dulu jurusan bahasa
ketika MA (SMA). Sebelum masuk ke jurusan bahasa, minat kepenulisan sudah mulai
terasah karena sering melakukan praktik menulis bebas (free writing) ketika
kelas 3 MTs.
Aku
menuliskan novel pertama dalam bentuk manuskrip tulisan tangan yang dihimpun dalam
binder ketika kelas 2 MA. Adalah karya pertama, untuk aku. Meskipun dalam
praktiknya ada beta reader, tetapi pada akhirnya tidak dilibatkan ke
penerbit untuk diterbit-baca.
Minat untuk
menulis semakin naik ketika akhir pembelajaran pada jenjang MA. Sampai kemana-mana
bawa pena dan buku kecil, atau membawa papan ujian dengan beberapa lembar
kertas binder. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan waktu luang dengan menulis.
Apapun itu, bisa menulis bebas atau melanjutkan sekuel novel yang aku tulis
waktu itu.
Catatan.
Ya, aku memang suka menulis. Namun bukan berarti tulisanku bagus.
Bukti dari
pernyataan diatas adalah novel pertama & kedua saya. Dalam bentuk manuskrip
tulisan tangan. Dua arc yang aku tulis secara manual, dua tahun kemudian saya
baca lagi,
“Maksudnya? Kok aku bingung ya?”
Aku bingung
membaca tulisanku sendiri. Bukan dari segi cara menulisnya, melainkan cara
kepenulisannya. Artinya tulisanku buruk sekali, aku mengakui dan —biarlah arc
novel ini saya berpusing sendiri. Dulu bagaimana beta reader-ku bisa
paham, aku sendiri setelah dua tahun ditinggal kemudian ketika menulis arc
ketiga ada plot yang flashback. Karena lupa, buka manuskrip tersebut eh malah
bingung maksud e kepiye.
Pustakawan & Streamer
Seorang
pustakawan yang bertugas menjadi pawang informasi, berusaha agar masyarakat
mendapatkan informasi yang berkualitas, menyediakan informasi atau referensi
yang dibutuhkan … dan seterusnya. Tugas seorang pustakawan seperti hal yang
dijelaskan pada jurnal-jurnal. Keinginan ini tentu dipicu-muncul setelah terjun
dalam perguruan tinggi program studi ilmu perpustakaan.
Sedangkan
untuk ‘streamer’ —ya keinginan sendiri juga. Tetapi baru muncul kali ini karena
keinginan agar ilmu yang aku pelajari selama belajar di perguruan tinggi dapat
bermanfaat. Aku melihat peluang di beberapa media sosial yang digunakan untuk
siaran langsung, seorang pustakawan —belum ada. Maka dari itu, ada cita-cita
untuk menjadi streamer yang memberikan penjelasan/keterangan perihal
tentang kepustakawanan atau hal keilmuwan lainnya. Tujuannya adalah agar ilmu
yang dipelajari dapat bermanfaat.
Ya tiga itu
sih, berubahan cita-cita dari masa ke masa. Dari yang awalnya ingin mikir
logis, membayangkan program perintah untuk variabel sana-sini, menjadi penulis,
sampai jadi pustakawan yang tugasnya kelihatannya hanya menata buku saja
wkwk.
Tantangan
hari kesepuluh sudah selesai, dengan total 790 kata. Wow, lebih banyak dari
hari sebelumnya. Semoga besok hari kesebelas masih lanjut menulis belas wkwk.
0 komentar:
Posting Komentar