Sekitar dua tahun lalu, pandemi COVID-19 menyerang dunia. Berawal dari negara China, kemudian menyebar sampai tetangga bahkan kepelosok dunia. Awal pandemi, aku masih ingat posisi masih di Yogyakarta. Menikmati uforia sebagai mahasiswa baru semester dua, lalu mendapati kabar bahwa adanya kasus pasien COVID-19 yang sudah masuk Indonesia pada bulan Desember 2019. Kuliah masih berlangsung seperti biasa, belum ada ketetapan kewajiban mengenakan masker. Bahkan habitat cuci tangan atau pemakaian hand sanitizer hanya sebagian kecil yang sudah melekat pada habitat keseharian. Sampai akhirnya kasus pasien COVID-19 mulai meluas dan merambah ke Indonesia, kemudian turunlah keputusan perkuliahan daring.
Mengulas flashback dua tahun lalu, ketika masih semester 2. Awal-awal mengalami pembelajaran daring. Berkenalan dengan platform seperti Zoom, Google Meet, sampai Google Classroom. Discord tidak termasuk. Karena kalangan prodi, khususnya para tenaga pendidik (dosen) sampai sekarang belum menemukan salah satu dari beliau-beliau yang menggunakan Discord sebagai ruang virtual kedua. Jangankan menggunakan, mengenal saja pun tidak. Tapi ada sisi baiknya juga sih.
Lalu, bagaimana rasanya pembelajaran daring? Kalau ditinjau dari pengalaman aku sendiri, maka daring experience mulai pada semester 2. Sampai kapan? Ya itu, entri ini ditulis untuk ‘menyambut’ pembelajaran luring. Mengembalikan kebiasaan yang dilakukan sebelum pandemi. Pengalaman belajar via PDF, memperhatikan Dosen presentasi materi, ber-multitasking, sampai praktek namun pelaksanaannya virtual. Ya, seru sekali pastinya. Namun ada kekurangannya, —dan apapun itu ya harus ditutupi.
Salah satunya adalah ‘ilmu yang tidak sampai’. Banyak yang mengeluh tentang pembelajaran daring, kalau ilmunya tidak sampai. Dengan alasan penyampaian materinya virtual, tidak langsung tatap muka. Melainkan melalui media komunikasi virtual seperti Zoom atau Google Classroom. Sehingga pemahaman materi kurang tersampaikan. Lalu bagaimana pendapatku? Ya, jawabannya adalah benar, namun tidak sepenuhnya menyalahkan. Karena melihat situasi, kondisi mau bagaimanapun harus beradaptasi. Memang, ketika pembelajaran daring via Zoom/Google Meet interaksi antara guru dan murid tidak secara langsung. Melainkan terhambat akan dinding virtual. Sehingga guru tidak dapat memastikan masuk tidaknya materi, begitu juga murid.
Dalam belajar-mengajar, dua belah pihak harus saling support terikat. Antara guru dan murid harus saling mengajar & belajar sesuai dengan peran masing-masing. Murid memperhatikan, kemudian guru menerangkan. Tetapi pembelajaran daring, ada tambahan pihak yang harus juga mendukung. Yakni koneksi internet yang harus stabil. Pembelajaran daring tidak akan sempurna meskipun murid & guru sudah serius memperhatikan & menerangkan namun koneksi internet tidak stabil. Kemungkinan faktor inilah yang menjadi penyebab alasan ‘daring ilmunya ndak sampai/masuk’.
Pengalaman pembelajaran daring selama 1,5 tahun, aku mencari metode atau cara belajar untuk terus bertahan mendapatkan nilai A —bukan, maksudku supaya ilmu atau materi yang diterangkan oleh dosen/guru dapat aku pahami. Meskipun sering ada kendala. Aku tidak mungkin menyalahkan kondisi, apalagi guru. Karena aku yang butuh, maka aku harus mencari tahu, antusias, penasaran. Sama halnya ketika mencari link download, crack.
Salah satu pengalaman kuliah daring yang masih ingat betul dalam sejarah adalah ketika semester 4. Entri sebelum ini, aku sudah pernah menceritakan. Tentang mengadakan pameran dengan true virtual. Sedangkan umumnya, suatu acara daring sekalipun. Panitia terkadang menyusun/mengadakan acara tersebut dengan ‘briefing’ secara luring. Ketemuan. Namun aku tidak, selaku ketua panitia.
Tidak hanya itu, ada lagi. Pengalaman praktek secara true daring a.k.a work from home —atau practice from home. Adalah kondisi di mana ada anjuran atau tugas untuk praktikum melakukan studi lapangan. Namun aku mencari cara untuk tetap mengambil andil (kondisi tugas/praktikum kelompok) tugas/peran yang dapat aku lakukan secara daring atau berada di rumah/kampung.
Simpelnya aku mengambil peran dalam kelompok yang bisa aku lakukan tanpa harus keluar dari rumah. Tugasnya tentu yang menentukan bukan aku sendiri, melainkan kelompok. Pasrah.
Pada dasarnya masuk tidaknya ilmu dari pembelajaran daring kembali kepada murid sendiri. Seberapa keras dalam menggali informasi, ya itulah yang di dapat. Ibaratnya siapa yang mau berusaha keras, maka akan mendapat bayaran yang seimpas sesuai.
Namun pembelajaran daring tidak selamanya dilakukan. Untuk perguruan tinggi, ada beberapa mata kuliah yang aspek pembelajarannya lebih efektif dilakukan secara luring. Contohnya ketika semester lima yang aku alami kemarin. Proses pembelajaran masih mengandalkan media virtual (daring), namun tugas-tugasnya sangat efektif (malah kalau daring, entah dapat berhasil/tidak) dilakukan secara offline (luring). Yakni praktikum pengelolaan perpustakaan, salah satu mata kuliah ‘Manajemen Perpustakaan’. Untungnya aku & teman-teman sekelompok semua dapat melakukannya dengan baik dan berakhir dengan baik.
Sehingga keputusan akan pemberlakuan pembelajaran luring, mau tidak mau harus dilakukan. Aku yakin, pemerintah atau mereka yang mengurus akan hal ini sudah berpikir dalam dan memilih keputusan yang terbaik dengan pertimbangan yang benar-benar matang.
Lalu, bagaimana perkuliahan luring kalian?
0 komentar:
Posting Komentar