Pertama-tama, sebelum membaca. Perlu diingat bahwa deretan paragraf pada post ini ditulis sebatas opini yang dikeluarkan tanpa mikir dalam.
Apakah ini termasuk ‘Free Writing’? Iya, emang.
…
Semester lima sudah usai (seharusnya). Lumrahnya setelah ujian akhir semester, para mahasiswa sudah memiliki rencana mau ngapain aja untuk menikmati liburan yang akan tiba. Dinikmati-enjoy memang sudah seharusnya. Namun kenyataan berbeda jauh dari ekspektasi, terhadap kelas A maksudnya.
Apa yang pernah aku sampaikan, tentang kelas A. —ya, kelas internasional.
Kelas apalagi kalau bukan dibuat dari mengumpulkan sekitar 28 orang untuk dipindahkan secara surprise, tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Kemudian diberikan model pembelajaran yang sedikit berbeda. Serupa namun tak sama.
Perbedaannya sedikit, tetapi cukup intens/berpengaruh bagi yang tidak biasa. Ataupun yang tidak berkeinginan. Perbedaan tersebut adalah penerapan bahasa Inggris dalam segala hal (salah satunya). Adapun hal-hal yang berkaitan dengan akademis, maka penggunaan bahasa Inggris sangat/wajib dianjurkan. Ini termasuk kegiatan belajar-mengajar, mekanisme dasar dalam pengerjaan tugas, sampai proses interaksi yang juga menggunakan bahasa Inggris.
Jadi, terserah ketika ada yang melihat, memergoki orang dari kelas A yang berbicara melakukan presentasi menggunakan bahasa Inggris yang belepotan, dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia. Karena pada dasarnya, bahasa Inggris bukan bahasa Ibu. Mau bagaimanapun, pasti ada sentence atau pengucapan yang salah. Sehingga bila dipraktekkan langsung terhadap bule (orang luar negeri) tanpa adanya pelatihan/keterampilan mendalam. Kesalahpahaman pasti akan terjadi.
—pengalaman ketika mengobrol dengan teman luar negeri. Melalui media ‘Discord’.
Pengucapan bahasa Inggris yang dicampuradukkan, jadi ingat fenomena ‘Bahasa Jaksel’ yang sempat awal mula trending pada tahun 2018 silam.
Dari penerapan ‘Bahasa Inggris’ dalam semua aktivitas akademik. Tentunya membuat teman-teman, maksudnya mereka yang dipilih-pindah ke kelas A menjadi shock wal kebingungan. Terlebih mereka yang benar-benar tidak biasa menggunakan bahasa Jakse— maksudnya bahasa Inggris. Malah mungkin ada pula yang merasa ‘jijik’ (ya kali aja). Bagaimanapun, kelas A sudah menjadi standar awal dalam percobaan penerapan program pembelajaran internasional.
Penerapan ini terbilang ‘tidak baru’. Maksudnya kebijakan ini baru diberlakukan (sepertinya) ketika saya, mereka, teman-teman sedang menempuh semester lima. Jadi bisa dibayangkan, ditengah-tengah perjuangan menghadapi perkuliahan yang anjay-mabar. Tiba-tiba surprise! Dhuar— kelas A, program internasional! Wkwk. Maksudku, kenapa program ini tidak diterapkan dari awal?
Ya, mungkin saja ada beberapa sebab-musabab wal alasan. Tetapi, setidaknya harus dilobi-tanyakan dahulu. Persetujuan dari kedua belah pihak, yang bersangkutan.
…
Oke, pembahasan kelas internasional sudah cukup kiranya. Karena bila diteruskan, bakal panjang. Dan lagi, selama perjalanan menempuh/bertahan hidup/berjuang di kelas program internasional. Banyak sisi positif, —dan juga negatif. Relatif, tergantung perspektif. Sekarang lanjut ke pembahasan akan pendapat terhadap program pelatihan bahasa Inggris, yang seharusnya menjadi inti topik pembicaraan.
Dua pertanyaan yang sering terbesit muncul dalam pikiran.
- Kenapa?!
- Apa!?
Dua kata pertanyaan tersebut bisa mewakili rasa keheranan, kebingungan, kekagetan, dan… ya ketidakmudengan. Kalian kira-kira sendiri bagaimana.
Namun, terlepas dari pertanyaan tersebut. Program pelatihan yang akan dilaksanakan, saya ucapkan— pelatihan ini langka.
Biar saya perjelas lagi, “Pelatihan ini langka.”
Kok bisa? Sebab apa? Lah kenapa?
Simpelnya program pelatihan ini diadakan secara ‘ekslusif’ untuk teman-teman yang memegang lencana anggota sebagai kelas A. —ya, aku termasuk. Maka dari itu, mengingat program internasional secara otomatis memberlakukan pembelajaran yang ‘internasional’ juga. Maka untuk dapat ‘survive’ dan mengikuti pembelajaran model seperti itu, diperlukan keterampilan dasar dalam berbahasa Inggris. Karena itu sudah menjadi makanan sehari-hari, —tiap pertemuan, maksudnya.
Dari hasil perkiraan, hipotesis akan observasi. Program pelatihan ini ‘mungkin’ diadakan karena melihat mereka, para member dari kelas program internasional dalam berbahasa Inggris masih jauh dari kata standar, apalagi sempurna. Seperti yang dipaparkan tadi, bila dipraktekkan secara langsung kepada seorang bule. Paham tidak, misunderstanding iya.
Maka dari itu, prodi menyumbangsih program pelatihan ini guna ‘meng-intensif-kan’ keterampilan/kemampuan tersebut. Supaya kedepannya tidak terjadi kendala dalam mengikuti pembelajaran, sekaligus membantu dalam proses berkembang.
“Wah berarti dapat pelatihan bahasa Inggris dari prodi. Gila. Keren…!”
Merupakan pendapat ketika melihat adanya kabar program pelatihan bahasa terhadap kelas A. Catatan, komentator tidak berasal dari kelas A.
Jadi, tahan pujianmu, tolong…
Karena dibalik pelaksanaan, pasti ada pengorbanan. Sama halnya dalam meraih kesuksesan, pasti ada jatuh-bangun nan berkorban. Begitu juga dengan pelatihan. Pasti ada kelelahan, kecapekan. Karena namanya juga dilatih, tenaga diforsir sampai nyaris tidak memperhatikan waktu sewajarnya. Ya, namanya juga latihan, sengaja untuk ditempa-latih guna mencapai kompetensi standar yang diinginkan.
Dari pengorbanan itulah yang kadang sempat timbul rasa ‘mangkel’ wal ‘bingung’. Meskipun diberitahu bahwa program tersebut adalah pemberian langka dari prodi.
Apa yang disebut pengorbanan adalah kondisi di mana kalian/kamu/aku/kita melakukan hal yang berbeda dibandingkan anggota/kelompok lain. Hal tersebut dilakukan dengan berlebihan, dan beresiko, mengambil kesempatan dengan segala konsekuensi. Agar mendapatkan sesuatu, atau malah demi membantu mendapatkan sesuatu.
Pengorbanan sudah pasti relatif. Ndak hanya ketika perang, ataupun semacamnya. Pengorbanan dilakukan ketika dalam tim, ada personil yang ‘nggambleh’ atau objek pencapaian tim belum tercapai. Sehingga seluruh anggota, atau sebagian, atau salah satu harus berkorban untuk berusaha keras ‘menggendong’ anggota/tim yang heleh. Atau malah sebaliknya.
—maksudnya? Kok ndak nyambung?
Emang, disengaja. Supaya tidak terkesan intensif atau ofensif.
Penjelasan simpelnya adalah, pengorbanan waktu.
Waktu apa? Liburan.
Biar aku perjelas sekali lagi. Program pelatihan bahasa Inggris ini dilakukan ketika liburan semester 5-6. Paham sekarang?
0 komentar:
Posting Komentar