Fobia Whatsapp

https://images.unsplash.com/photo-1584475784921-d9dbfd9d17ca?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=2070&q=80

Tumben bahas-bahas fobia, kenapa ini? Wah ada apa ini?

Wkwk, mumpung idenya muncul aja. Eman/sia-sia kalau tidak dituangkan.


Akhirnya ide yang berkaitan tentang ketakutan akan media sosial, muncul dan ditulis juga. Sebenarnya tulisan ini sudah saya rencanakan lama, terutama ketika semester kemarin, dan sampai sekarang ya bisa jadi. Tetapi rasa malas yang akut itu menjadikan delay, ditambah lagi kesibukan yang lain (yang dibuat-buat).

Sebelum kita membahas tentang hal-hal fobia, alangkah baiknya saya jelaskan pengertian fobia secara mendasar. Dikutip dari Alodokter, fobia adalah rasa takut yang berlebihan akan suatu yang umumnya nggak membahayakan. Rasa takut tersebut itu muncul ketika situasi tertentu, kondisi tertentu, atau malah ketika bertemu dengan benda tertentu. Jadi fobia itu bermacam-macam, relatif, kambuh/munculnya bisa kapan dan di mana saja. Tergantung pada orang yang mengalami fobia pada hal spesifik.

Dijelaskan tadi bahwa fobia itu timbul ketika bertemu situasi tertentu. Ketakutan tersebut tidak berujung panjang, melainkan eksis ketika bertemu dengan sesuatu yang membuatnya takut nggak tertolong.

Fobia sendiri dikelompokkan dua hal (Sumber: Alodokter),

  1. Fobia Spesifik, terhadap objek
  2. Fobia Kompleks, terhadap situasi/kondisi

Penyebabnya? Macam-macam, tergantung dari pengguna/penderita. Pemicunya dapat berupa hal yang kebetulan terjadi sehingga membuatnya merasa tidak nyaman, ketakutan. Kemudian muncullah rasa takut baru terhadap objek/kondisi/tempat.

Gejala dari rasa takut tersebut, salah satunya adalah stres. Lebih-lebih ketika fobianya termasuk jenis kompleks. Berkaitan dengan situasi tertentu yang menyangkut individu yang banyak. Sehingga mau tidak mau, harus dihadapi. Sedangkan mental & fisik merasa menolak kuat. Kemudian timbullah pertengkaran batin yang memicu akan stres.

Post ini, membahas tentang fobia dengan jenis kompleks. Simpelnya fobia yang tidak menyangkut terhadap objek saja, melainkan dengan objek yang lain pula. Bisa dikatakan berkaitan dengan orang lain (sosial). Yakni fobia whatsapp

https://images.unsplash.com/photo-1523365237953-9f36b3c8cada?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=2070&q=80

Munculnya istilah tren fobia baru

Di tahun 2019 kemarin, muncul tren baru yang menjadi cikal bakal munculnya fobia baru. Salah satunya adalah fobia akan media sosial. Dilansir dari Tempo, Republika, Cantika meliput munculnya fobia baru di kalangan masyarakat. Salah satunya Editiovultaphobia.

Adalah ketakutan akan media sosial. Fobia ini menyebabkan orang merasa takut dihakimi dan diawasi secara konstan oleh teman atau orang asing. Dari sini, diartikan media sosial. Yang bila diperluas pembahasannya, media sosial ini cakupannya tidak hanya Facebook, Instagram, Twitter, TikTok melulu. Melainkan platform yang digunakan untuk membalas pesan teks seperti Whatsapp, Telegram, Line, dan sebagainya itu juga termasuk dalam platform media sosial.

Terjadi Semenjak Semester 4 Kemarin

Dari awal memang dasarnya pasti ada apa-apa. Sehingga muncul ide untuk menuangkan pikiran tentang ketakutan akan sosial media chatting Whatsapp ini. Ide akan fobia whatsapp ini terpikirkan, dan dialami langsung pada semester 4 kemarin. Alhamdulillah di semester 5 ini, tidak. Apa mungkin karena saya perlahan bisa bersikap bodo amat? Ya mungkin saja.

Fobia whatsapp dapat diartikan ketakutan yang berlebihan terhadap si Whatsapp ini. Bila diartikan panjang-lebar, maka ditafsirkan ketakutan yang berlebihan bila mendapatkan notifikasi whatsapp, dan media sosial lainnya. Ketakutan ini muncul diakibatkan banyak faktor, umumnya merujuk pada satu titik permasalahan.

Dulu menanti dichat, sekarang mendapat notif rasanya gemetar

https://images.unsplash.com/photo-1600103041129-2b81a57bbda3?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=2070&q=80

Jadi ingat ketika masa-masa MA dulu. Pas awal-awal memiliki akun Whatsapp, rasanya suka/demen ketika menambahkan kontak. Nomornya teman, keluarga, atau kenalan baru di sosial media atau di dunia nyata. Apalagi pas punya banyak nomor kontak dan saling menyimpan nomor, sehingga ketika ada status baru dari teman/kontak yang saling menyimpan nomor. Maka langsung diratakan, ditonton. Kadang sampai cari pembicaraan dengan cara spam chat, atau mungkin mengobrol sharing hal-hal kecil.

Tetapi sekarang, saya mengambil kondisi orang yang sedang menempuh jenjang kuliah. Dan orang tersebut mengikuti banyak organisasi, workshop, dan sebagainya. Pernah terungkap,

"Bisa ndak, sekali aja. Ndak ada chat Whatsapp. Aku ingin liburan!"

Ya, kurang lebihnya seperti itu.

Kok bisa gemetar? Sedangkan dulu mencari-cari chat agar bisa saling mengobrol walaupun baru kenal kadang, nah sekarang kok malah ketakutan. Saya jelaskan, tetapi akan lebih baik kalau praktek langsung. Umumnya, untuk orang yang nggak rame chatnya kemudian tiba-tiba ramai. Itu pasti karena suatu kepentingan atau tanggung jawab yang sedang dipikul. Entah itu bersama-sama atau dengan orang lain. Intinya menyangkut orang banyak.

Dari terlibat dengan orang banyak itulah, Whatsapp sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Termasuk sosial media, meskipun hanya modal dipakai untuk balas pesan, menonton status whatsapp, menelpon menggunakan kuota, dan sebagainya. Fitur whatsapp tidak selengkap Instagram ataupun Facebok. Karena pada dasarnya platform Whatsapp dibuat untuk komunikasi audio-visual. Itu aja ada fitur status, menurut saya sudah bonus.

Umumnya terjadi ketika terlibat dengan orang banyak

https://images.unsplash.com/photo-1576595580361-90a855b84b20?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=1974&q=80

Fobia whatsapp, ketakutan akan notifikasi whatsapp itu bukan karena ada pesan dm atau spam nomor asing yang menyasar masuk ke akun. Ya, seperti itu bisa jadi, tetapi umumnya nggak kayak gitu. Ketakutan akan notifkasi Whatsapp ini merujuk pada notifikasi pesan grup, atau pesan pribadi yang ujung-ujungnya membahas hal yang berkaitan dengan orang banyak.

Contohnya, tugas kelompok, workshop, organisasi.

Sebagus apapun organisasinya, pasti ada masalah. Namanya juga organisasi, mengurusi banyak kepala (apalagi bila dinobatkan jadi ketua). Melatih manajemen konflik, waktu, dan... emosi. Ya, kalian tahu sisanya.

Urusan yang terlibat dengan orang banyak, agar dapat terlaksana dengan lancar itu memerlukan komunikasi yang baik dan jelas. Saya mengatakan ini bukan berarti saya sendiri bisa melaksanakannya dengan baik. Itu sudah standar, contohnya acara atau program kerja pada organisasi agar dapat terealisasikan maka kerja tim sangat diperlukan. Meskipun ada yang benar-benar berkorban, memikul semua beban tugas anggota sendiri seperti halnya Itachi dalam tokoh serial Naruto. Tetap saja bakal merombak hancur pada waktunya, karena proker diharuskan kekompakan dan saling mengoreksi.

Ketika kekompakan tersebut tidak terjadi, maka akibatnya adalah saling diem, canggung, bingung. Apalagi kalau bergantung pada media secara daring. Plus-plus sabarnya. Ini dilansir langsung dari mereka yang menjadi penanggung jawab, naasnya anggotanya tidak memahami proker yang sedang dikerjakan. Dari ketidakkompakan tersebut, memicu miskomunikasi yang berujung pada bertengkar di Whatsapp atau meneror anggota yang bermasalah.

Bersikap defensif, menghindar, menghadapi pelan-pelan

Saya mengobservasi pada sudut pandang orang yang diteror akan pesan whatsapp, berkaitan dengan organisasi. Entah itu orang yang saya observasi ini melakukan tindak yang salah atau tidak, kurang tahu. Yang jelas berikut macam-macam sikap orang yang sedang diteror, serbu akan notifikasi whatsapp. Sampai-sampai mereka tidak berani membuka whatsapp, bahkan sampai online sekalipun tidak berani.

  1. Bersikap defensif
  2. Memilih untuk menghindar
  3. Menghadapi pelan-pelan

Penjelasannya dijelaskan secara urut di bawah ini,

Bersikap Defensif

Perlindungan diri paling utama. Apapun yang terjadi, jangan sampai harga diri hancur hanya karena ribut keorganisasian. Meskipun hal yang dilakukan itu salah atau tidak, pikir keri. —ya ndak begitu hei.

Sikap defensif ini menurut saya dapat diartikan bodo amat. Adalah mereka yang memiliki mental tebal sekeras baja, yang ditempa pukul pakai cairan lava, tetap aja tidak bengkok-bengkok. Alias kaku. Namanya juga defensif, bodo amat.

"Apapun yang terjadi, ku kan selalu seperti ini..."

Ya, kalian tahu sisanya.

Sikap defensif ini tidak melulu respon yang diam (hanya dibaca). Sikap mencari korban atau menyalahkan orang lain ya itu juga termasuk defensif. Karena melindungi diri, apapun yang terjadi.

Sikap melindungi diri ini tidak dapat dibenarkan. Karena dapat memicu pertengkaran, yang naasnya bisa berujung panjang. Nggak mungkin ya kan, hanya karena ribut perkara hal seperti ini. Tetapi diem-dieman sampai semester akhir.

Memilih Untuk Menghindar

https://images.unsplash.com/photo-1582079768176-2f3305fe11f4?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=2070&q=80

Mereka yang salah, bingung mengaku salah, akhirnya mencari tempat lain untuk bernaung. Sementara.

Media sosial kan banyak, tidak hanya Whatsapp ataupun Instagram. Oleh karena itu cari aja tempat lain untuk bernaung melampiaskan ego. Lebih-lebih dunia maya itu seperti kehidupan kedua, namun pengguna dapat menjadi apa saja yang ia mau.

Teknik menghindar ini juga tidak dapat dibenarkan. Ya benar menghindar, tetapi pada akhirnya tetap aja kembali lagi pada konflik yang masih itu-itu aja (atau malah merambah banyak).

You can run, but you can't hide. Anjay

Menghadapinya Pelan-Pelan

https://images.unsplash.com/photo-1618746337784-6abae22693f6?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=1974&q=80

Gampang ditulis, diucapkan. Tetapi kenyataannya sulit nan pahit. Untuk orang yang belum pernah ada pengalaman, dan sedang mengalami pertengkaran batin. Jarang orang akan memilih poin ini, ketika sedang dalam posisi diteror akan notifikasi pesan Whatsapp. Yang ujung-uungnya ya itu, berkaitan dengan hal keorganisasian.

Mereka yang dirundung terkena masalah, apapun yang terjadi ya tetap dihadapi. Pelan-pelan, pasti.

Saya salut dan setuju sekali dengan tipikal orang seperti ini. Namun sayangnya observasi saya hanya menghasilkan jumlah variabel minoritas yang menggunakan metode terakhir ini.

Mereka adalah yang sudah berpengalaman, belajar dari banyak kejadian nan kesalahan, dipercayai untuk memikul banyak beban tanggung jawab, serba bisa, dan yang pasti manajemen konflik level GG.

Merasa diteror itu pasti. Bingung pusing ya iya. Tetapi mau sampai kapan? Akhirnya juga harus dihadapi, oleh karena itu.

Hal yang memicu

Bukan karena kondisi lingkungan, tempat, ataupun orang lain (ya benar ada hubungannya dengan orang lain. Apalagi berkaitan dengan keorganisasian). Melainkan fobia tersebut dipicu oleh orangnya sendiri. Bukan karena mereka ikut organisasi kemudian pasti mengalami seperti ini, tidak.

Dipicu oleh orangnya sendiri berarti ketakutan akan notifikasi Whatsapp tersebut terjadi karena sikap/mindset negatif akan keadaan. Dikarenakan dalam organisasi, atau workshop kerja tim sangatlah penting. Sehingga hilangkan mindset negatif selama bergabung menjadi anggota proker apabila tidak ingin diteror karena tidak responsif dalam diskusi proker dan sebagainya.

Dari tidak responsif tersebut itulah, rasa malas yang memicu konflik-konflik dikemudian hari. Salah satunya adalah notifikasi Whatsapp yang rasanya tidak ada habisnya. Pada dasarnya semua konflik yang menyebabkan diteror, seperti dikejar-kejar sama tugas/tanggung jawab, itu kembali ke awak sendiri juga sih. Ini saya bisa mengatakan hal ini, karena saya dulu juga pernah mengalaminya.

Oleh karena itu,

https://images.unsplash.com/photo-1579705379068-011cb467453f?ixlib=rb-1.2.1&ixid=MnwxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8&auto=format&fit=crop&w=1974&q=80

Apapun yang terjadi, ya harus dihadapi. Memang gampang diucap, ditulis, disampaikan tetapi berat ketika melakukan. Apalagi kalau ada beban lain, dan sebagainya. Tetapi jangan ada sikap menghindar, asli. Ya benar menghindar, lari. Tetapi nanti juga bakal kena, hancur. Simpelnya, sama-sama akhirnya hancur/kena ya sekalian aja. Jangan dinanti-nanti.

Akhirnya hancur, terjadi. Mau sampai kapan menghindar, dan lari terus-menerus. Saya belajar ketika semester 4, ketika menjadi ketua IDKS (Sudah saya ceritakan berkali-kali). Mau lari sampai sejauh mana pun, tanggung jawab itu nggak akan bisa lepas kecuali sudah waktunya. Nah dari waktu ini, saya ndak bisa melakukan apa-apa selain meratapi nasib, nggak, maksudnya menghadapi nasib wkwk.

Dari meratapi nasib itu, tuh akhirnya juga saya bisa melakukannya (meskipun anjay mabar). Bisa bisa! Saya pasti bisa. Dari fobia whatsapp tersebut dapat dihadapi pelan-pelan namun pasti.

Lari dari tanggung jawab itu bukan keputusan yang baik. Namanya juga lari, ada kala habis tenaga dan harus rehat. Sedangkan tanggung jawab akan terus meneror. Dari teror inilah yang memicu rasa takut akan dihubungi. Penyebabnya siapa? Ya saya sendiri wkwk.


Sumber yang saya gunakan:

Fobia

Tren Fobia yang Bermunculan di 2019, Ada Ketakutan pada Medsos


Selesai juga, 6 halaman total. Dikerjakan semalam dengan tekad yang sudah hancur habis-habisan (malas). Alhamdulillah akhirnya jadi, semoga bisa dipahami. Sampai bertemu di post selanjutnya. Untuk kolaborasi, dukungan, kurangan-kelebihan akses terbuka melalui sosial media atau secara langsung.

CONVERSATION

0 komentar: