Bagaimana Rasanya Memiliki Teman Tuli



Bagaimana Sih Rasanya?

Kisah pertemanan antara aku dan mas Nanda, difabel tuli masih berjalan erat sampai pada semester 5 ini. Kami dipisah, saya pindah kelas tetapi tetap satu jurusan, satu pemikiran wkwk. Judul tentang 'Rasanya memiliki teman tuli' ini terdorong karena ingin mencoba menulis dengan teknik penulisan yang diajarkan oleh pak Nurdin pada mata kuliah Teknik Penulisan. Kapan-kapan aku menjelaskannya nanti wkwk.

Difabel tuli, mereka memiliki cara yang unik dalam mengekspresikan, berkomunikasi antara satu sama lain. Salah satunya adalah bahasa isyarat, dari mas Nanda inilah aku tergerak, terdorong untuk mempelajari bahasa isyarat hingga mencapai kompetensi minimal untuk dapat mengobrol santai dengan teman-teman tuli.

Kompetensi minimal artinya kemampuan berbahasa isyarat agar kiranya komunikan tuli dapat memahami pesan apa yang disampaikan melalui gerak tangan isyarat dan mimik mulut. Karena bahasa isyarat tidak seperti bahasa Indonesia. Di mana tidak memiliki urutan S-P-O-K layaknya bahasa Indonesia. Bahasa Isyarat berbeda, penjelasannya agak panjang. Namun intinya, bahasa isyarat umumnya dibalik struktural kalimat/kata, dan disingkat.

Dari kemampuan bahasa isyarat yang diajarkan oleh mas Nanda (sebagai guru pertamaku) memandu saya untuk menemukan teman-teman tuli dan berinteraksi seperti tidak ada barrier, secara inklusif seperti halnya mengobrol layaknya teman sebaya, dekat, curhat.


Pertemuan Awal Semester

Pembuka pastinya ketika memulai hari menempuh pendidikan perguruan tinggi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya bertemu dengan mas Nanda, paras tubuh tinggi dengan wajah seperti bule. Sebelumnya ketika ospek (PBAK), pernah melihat mas Nanda mengikuti ospek didampingi oleh seorang relawan untuk menerjemahkan apa yang disampaikan oleh narasumber atau tiap sesi acara. Dari situ, aku mengetahui kalau itu adalah bahasa isyarat.

Pendampingan adalah mekanisme khusus untuk mereka para difabel tuli, tujuannya adalah agar tetap bisa mengikuti pembelajaran secara inklusif. Tidak hanya difabel tuli, melainkan netra, daksa mendapatkan pendampingan bila diminta.


Cara Bekomunikasi

Satu-satunya, waktu itu (sebelum mempelajari bahasa isyarat) adalah dengan bertukar catatan melalui ponsel. Sehingga ketika ada yang ingin aku sampaikan, atau sebaliknya maka mas Nanda atau aku menulis kalimat di ponsel lalu menunjukkannya pada mas Nanda atau sebaliknya. Sehingga aku melihat apa yang dia tulis/ketik, lalu memberikan balasan.

Dengan cara itulah waktu itu, aku dengan mas Nanda berkomunikasi atau mengobrol. Apa yang diobrolkan? Waktu itu, biasanya berkaitan dengan hal-hal perkuliahan. Mas Nanda waktu itu jarang mendapatkan pendampingan (karena tahun akademik baru, sehingga memerlukan proses penataan jadwal pendamping) maka aku terdorong untuk membantu dalam catatan sampai proses memahami.

Dari menjadi pendamping itulah, aku memperhatikan mata kuliah dan mencatat hampir apa saja yang diucapkan oleh Dosen. Aku memperhatikan, mencatat, meringkas, kemudian dipresentasikan ulang kepada mas Nanda. Dari situlah catatan saya hampir lengkap wkwk.


Media Komunikasi

Beragam. Waktu itu, COVID-19 belum sampai ke Indonesia, Yogyakarta. Sehingga media yang digunakan hanya sebatas Whatsapp atau ponsel, kemudian perlahan mas Nanda mengajari tentang bahasa Isyarat. Mulai dari alfabet, kata verbal, sampai istilah-istilah tertentu.

Namun, ketika kuliah daring. Media komunikasi menjadi beragam, untuk mas Nanda sendiri seringnya menggunakan Whatsapp Video Call, Google Meet atau Zoom. Media komunikasinya berpusat pada fitur video call. Sehingga proses mengobrol tetap dapat dilakukan selama jaringan lancar dan kamera menampakkan wajah serta kedua tangan.


Melatih Kesabaran

Seorang Naufal Shidqi, asal kalian tahu, dikenal dengan orang yang memiliki usus pendek. Artinya mudah marah, emosi, tidak sabaran, ingin semuanya instan... dan seterusnya wkwk.

Salah satu contoh ketika awal-awal semester, ada seorang yang tanya materi. Aku mencoba menjelaskan, namun berkali-kali penjelasan yang aku sampaikan, dia tidak paham. Apa responku? Sebagai berikut,

"Gitu aja tidak paham, kayak gitu kok masuk UIN. Masuk dari jalur mana sih kamu?"

Sadis, cringe asli. Untung Alhamdulillah sekarang bisa meredam dan meminimkan melontar kata-kata kasar yang merujuk pada keilmuan atau kemampuan. Mengingat semua orang itu beda-beda, tidak bisa disamakan.

Simpelnya, aku menemukan teman seperti mas Nanda ini. Aku bersyukur sekali, karena dari sini aku berlatih kesabaran wkwk. Apa ini artinya orang-orang tuli itu susah diajari? Tidak. Melainkan membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dua hal tersebut harus saling terkait, yang satu tekun, satunya lagi sabar dan terus diulang-ulang.

Berbicara tentang kesabaran, pernah suatu ketika di semester 2 (kayaknya). Ada tugas essai dengan ketentuan 2-3 halaman di Ms. Word. Sepertinya aku salah memberikan penjelasan kepada mas Nanda, sehingga mas Nanda mengira perintahnya adalah

"Menulis 2 sampai 3 halaman essai catatan seperti ini, lalu dikirim ke Dosen."

Seharusnya,

"Menulis essai, panjangnya 2 sampai 3 halaman seperti ini. Lalu dikirim ke Dosen"

Aku marah bukan main dan meminta agar mas Nanda membuat lagi agar tidak mirip dengan essai milikku. Kala itu aku sudah bisa menggunakan bahasa isyarat seadanya. Wkwk, malu cringe rasanya kalau teringat masa itu. Insiden tersebut terjadi karena kurangnya jelas dalam memberikan penjelasan.


Salah Paham Itu Sudah Biasa

Contohnya konflik di atas, itu sering terjadi. Mereka yang menjadi relawan difabel tuli, pasti pernah mengalami. Faktor penyebabnya beragam, bisa jadi karena penjelasan yang diberikan itu kurang jelas (terutama peletakan titik, koma) atau dari pihak tulinya yang masih proses belajar memahami struktural bahasa Indonesia, atau salah paham dikarenakan miskomunikasi bahasa isyarat.

Karena mengingat bahasa isyarat itu cukup kompleks, ditambah lagi kalau tulinya masih proses memahami struktur bahasa Indonesia. Untuk orang normal, mungkin mudah memahami struktur bahasa Indonesia, karena pernah mendengar orang lain mengucapkannya. Sehingga secara perlahan tahu, "Oh seperti itu intonasinya." atau "Oh seperti itu, urutannya. Logatnya." Dan sebagainya. Sehingga kesalahpahaman itu sudah biasa banget.

Dari kesalahpahaman yang sering terjadi antara saya dengan mas Nanda, aku belajar tentang struktur bahasa isyarat, begitu juga dengan mas Nanda belajar pula tentang struktur bahasa Indonesia. Saling melengkapi, meskipun diwarnai dengan nesu-nesu emosi dan komedi wkwk.


Tidak ada Wajah Dusta

Orang tuli biasanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat, atau mengandalkan mimik mulut/oral. Namun mayoritas menggunakan bahasa isyarat sebagai komunikasi utama. Karena bahasa isyarat ibarat adalah bahasa mereka, sudah terbiasa, dan cocok.

Komunikasi dalam bahasa isyarat menurutku mengandalkan tiga hal;

  1. Gerakan tangan
  2. Mimik mulut (bila diperlukan)
  3. Raut muka/ekspresi

Umumnya para penerjemah bahasa isyarat di televisi atau suatu acara, mereka menggunakan pakaian gelap. Supaya kedua tangan mereka terlihat jelas. Karena pergerakan kedua tangan itu sangat vital/primer sebagai media utama berkomunikasi untuk masyarakat tuli.

Plus, bahasa isyarat juga memperhatikan raut muka, atau ekspresi. Ketika menjelaskan, bercerita, menggambarkan keadaan, kalau hanya mengandalkan isyarat tangan itu tidak cukup. Maka perlu totalitas ekspresi yang berkaitan dengan apa yang disampaikan. Contoh,

"Aku lapar, makan yuk!"

Ketika disampaikan, kurang lebihnya seperti ini,

(menunjukkan ekspresi wajah lapar) "Lapar aku. Ayo makan!"

Ekspresi wajah diperhatikan, setelah isyarat tangan. Tujuannya untuk memperjelas maksud apa yang disampaikan, bergantung pada konteks pula. Sehingga pernah kejadian, aku membantu mas Nanda menerjemahkan suatu mata kuliah. Kebetulan apa yang ada dalam pikiran, sedang sumpek. Kala itu, memikirkan banyak hal. Entah itu penting ataupun tidak penting.

Sehingga dari pikiran yang sumpek, memberikan peforma menerjemah yang kurang optimal. Salah satunya raut wajah yang kaku seperti menahan sesuatu. Sampai pada akhirnya mas Nanda menebak kalau aku sedang ada suatu masalah. Alasannya adalah dari raut wajahnya terlihat tertekan, bingung, sampai apa yang aku sampaikan, mas Nanda hanya menangkap sekitar 30% disebabkan aku kurang fokus dan buyar. Tidak ada wajah dusta, karena mereka para tuli itu memperhatikan ekspresi wajah. Setiap hari, tiap kali berkomunikasi.


Orang Tuli Saling Memahami

Pada kisah yang aku alami ini, aku orangnya ekspresif. Sehingga apa yang dirasakan, entah itu marah, pusing, bingung, senang, sedih hampir terlihat jelas. Contohnya mas nanda. Selama aku berteman dengan mas Nanda, sampai saat ini. Aku banyak belajar, khususnya etika dalam meminta tolong.

Tidak semua orang itu senggang, bisa jadi sibuk. Meskipun hendak meminta tolong, itu harus ditanyakan dulu. Sedang sibuk atau ada urusan apa tidak? Selama aku menjalin komunikasi dengan orang tuli, mereka cukup berhati-hati dalam urusan perasaan. Apalagi bila menyangkut orang lain, khususnya dalam hal pendampingan atau meminta tolong.

"Naufal, sore ini sibuk tidak?"

"Saat ini aku sedang ada kelas luring. Ada apa?"

"Minta tolong menjelaskan ulang materi ini, sebab tidak paham bingung."

"Oke, aku usahakan."

Tidak hanya mas Nanda saja, semua rata-rata seperti itu. Sehingga dari aku berteman ini menjadi banyak belajar tentang memahami kondisi orang lain, mengembangkan pola pikir yang tidak terpusat pada satu sudut pandang. Contohnya seperti, "Bila aku diposisikan seperti dia." Jadi aku belajar menumbuhkan pola pikir lebih luas dan tidak kaku.

Dari pola pikir yang luas, tidak kaku secara tidak langsung melatih kesabaran dan menerima keadaan. Karena tidak semua orang bisa seperti itu, mau melakukan apa yang diinginkan, atau malah bertingkah egois kaku karena suatu masalah. Belajar berpikir dewasa adalah salah satu ilmu yang aku dapat ketika berteman dengan teman tuli.


Dari teman Tuli Aku Belajar,

Aslinya banyak sekali, segala susah-payah, lelah, suka dan duka terbayar lunas perlahan. Manfaatnya kembali ke diri sendiri, ataupun kepada orang lain. Berikut merupakan kesimpulan tentang ilmu, kemampuan, keterampilan apa saja yang aku dapat. Hampir semuanya positif, dan saling ber-simbiosis mutualisme wkwk;

  1. Cara berkomunikasi yang inklusif, dari bahasa isyarat
  2. Melatih kesabaran, hingga mindset yang kaku menjadi rasional dengan sudut pandang luas
  3. Belajar berkata 'Tidak', dan 'Maaf' ketika memang diperlukan
  4. Putus-Nyambung sudah biasa, konflik mereda lalu kembali ngobrol seperti biasa
  5. Dan masih banyak lagi.


Akhir kata, aku ucapkan terima kasih kepada semua pihak. Khususnya teman-teman tuli yang mengajari, menjadi guru pertama, mas Nanda. Dan juga teman-teman lainnya yang secara tidak langsung membantu saya dalam proses berkembang menjadi pribadi yang baik, menjaga sikap, sadar dan terus berkembang.

Seperti biasa. Aku Naufal Shidqi, seorang notetaker. Sampai jumpa kembali di artikel/essai/free-writing selanjutnya nanti. See ya later.

CONVERSATION

0 komentar: