Hai, beberapa hari yang lalu aku mendapatkan ide untuk menulis ini. Karena aku melihat banyak sekali, atau malahan rata-rata orang Indonesia khususnya kaum mahasiswa yang menggunakan Twitter sebagai jalan pelampiasan sambat.
Bukan
mengada-ada, masalahnya aku juga melakukan itu. Sesekali, atau malah sering ya?
Ini membuatku teringat yang disampaikan oleh pak Thoriq ketika semester 1 awal perkuliahan. Mata kuliah 'Sistem Informasi Perpustakaan' di mana beliau menyampaikan tentang dunia internet secara sekilas. Digambarkan dunia internet bukanlah tempat yang kita bisa seenaknya saja berbuat, bukan berarti bisa menyamar atau menjadi siapapun lalu bebas berbuat. Karena dalam internet, pasti ada namanya jejak digital yang tidak akan bisa dihapus.
Jejak
digital inilah yang bisa menjadi manfaat atau malah jadi madharat untuk kita
sendiri. Ibarat pisau atau pedang bermata dua. Bisa melukai orang, atau malah
melukai diri sendiri. ---Khususnya ketika kalian membaca cuitan atau post waktu
masih alay.
Wkwk, jujur
aku juga mengalami itu semua. Bahkan di blog ini, ketika aku menyadari bahwa
aku sudah menulis artikel, oret-oretan di sini selama lebih dari 90 post. Lalu
aku mencoba untuk melihat kembali, mengintip kembali bagaimana sih tulisanku
ketika masih duduk di bangku SMA/MA? Hasilnya, "Damn, really cringe
lol."
Ya, bisa
dibayangkan. Tulisan yang serba-serba.. gimana gitu, aku tidak bisa
mengungkapkannya. Cek sendiri melalui fitur postingan lama di blog ini.
Itu masih
lingkup blog, yang aku buat ketika kelas 12 akhir hendak perpisahan. Karena
waktu itu aku ingin mengabadikan catatan/mauidoh yang disampaikan guru kepada
para murid kelas 12 tercinta yang hendak meneruskan kehidupan setelahnya.
Maksudku, meneruskan pendidikan atau mengabdi ke masyarakat.
Belum lagi
bila kalian atau aku ini termasuk veteran Facebook? Twitter? Di mana banyak
sekali tulisan atau post yang notabene-nya alay di masanya. Dan masih banyak
lagi.
Intinya itu
adalah jejak digital yang mungkin bila kalian hapus satu per satupun, itu tidak
akan bisa hilang atau musnah sampai ke akar-akarnya.
Sekarang
apakah Twitter, media cocok dibuat sambat? Jawabannya tergantung sama
penggunanya.
Twitter
sifatnya microblogging yang cenderung simpel dan easy untuk dipakai. Berbeda
dengan blog, mau post aja kadang harus repot-repot membuat draftnya, menulis
sampai batas wajar untuk blog, belum lagi ngutip beberapa sumber. Intinya tidak
sesimpel Twitter. Yang hanya modal pakai hape langsung mengetik beberapa patah
kata dengan maksimal 280, dan bisa dihubungkan kembali dalam bentuk
utas/thread.
Yang mau
diisi? Ya apa aja, bisa aktifitas sekilas. Gagasan yang tiba-tiba muncul ketika
melamun, atau malah yang satu ini dan paling sering. Adalah sambat.
Ini adalah
contoh cuitan sambat yang pernah mencuit keluar di akun saya,
Alhamdulillah, aku menyukai pendapat ini. Misal sama-sama sambat, semua sambat, semua kesusahan. Tapi disamping itu setidak e bilang 'n kabari. Misal aku punya solusi dan cara, nanti berbagi. pic.twitter.com/VL1a7M1iQV
— Naufal de Shidqi (@cdq__) May 11, 2021
Kalau sama sama cerita lan sambat ya. Beberapa mungkin pernah device ter-shutdown atau low battery sehingga data can't saved. Ya, saya ya pernah juga :v sering ;v
— Naufal de Shidqi (@cdq__) October 13, 2019
Jadi aku
bilang gini bukan berarti aku tidak pernah sambat di Twitter, malah
berkali-kali sampai countless coba. Bahkan tidak jarang aku mengisi timeline
akun Twitter-ku dengan sesuatu yang mungkin absurd atau orang biasa akan
menilai 'Cringe'. Mulai dari ikut menceritakan sinopsis proyek novelku yang
tidak dipublish, membandingkan karakter dengan opini tanpa dasar, retweet
digital art, ikut nimbrung komen di thread game Arknights menggunakan bahasa
Jepang, dan sebagainya.
Karena
Twitter membebaskan penggunanya untuk mengetik apa aja, selagi tidak lebih dari
280 karakter. Kalau lebih dari itu ya ngga boleh pak, harus bikin cuitan baru
wkwk.. nggak, maksudnya ada ketentuan yang berlaku juga. Jadi tidak bisa
sembarangan asal mencuit lalu nge-bad word dan sebagainya.
Twitter
menurutku ya boleh-boleh aja dipakai media untuk sambat. Namun terkadang yang
menjadi poin permasalahan adalah ketika sambatannya menunjuk ke seseorang. Yang
mungkin itu bisa jadi masalah besar dari pihak yang mengungkit-ungkit. Karena,
kita tidak tahu emosi seseorang. Apalagi dalam proses komunikasi melalui teks,
pasti pernah atau malah berkali-kali miskomunikasi hanya karena hal kecil.
Karena
pengalaman daring ini, mungkin sudah countless rasanya miskomunikasi. Hanya
bermodalkan teks tidak mewakili perasaan, dan persepsi orang berbeda-beda atau
malah tidak sesuai dengan kenyataan.
Ribut
gegara hal simpel, karena cuitan yang menurutnya itu menyinggung dirinya.
Padahal niat awal tidak. Warna warni.
Sambat boleh, tapi tetap diperhatikan dalam proses pengolahan kata. Bagaimana pun Twitter tetap media sosial, yang cuitan kalian bisa dilihat oleh banyak orang. Meskipun followernya nol sekalipun, tapi kalau ikut nimbrung dan bahasannya menyangkut dengan kata kunci yang trending saat itu.. ya sudah, bisa nyantol.
Karena
banyak warganet yang terjerat kasus UU ITE hanya karena komen simpel yang
menurutnya itu bercandaan, tapi tempatnya tidak sesuai. Aku mengambil contoh
dekat pada kasus ini komen negatif berita duka Kapal Selam Nanggala 402.
Kejadian warganet, Imam Kurniawan mengomentari komenan yang niatannya bisa jadi
bercanda atau hiburan. Tapi tidak pada tempatnya, sehingga berakhir menjerat
dirinya sendiri dan terancam sebagai buronan.
Tapi ini bisa tidak berlaku apa bila pengguna mem-private akun Twitter tersebut. Jadi, kalau yang mo komen-komen hardcore atau.. ya katakanlah mengambil jalan hidup seperti larry ya bisa aja sih.
So
kesimpulannya,
Sambat
boleh-boleh aja sih. Tapi dalam proses sambat juga kudu dihati-hati dalam
mencuitkan cuitannya. Bayangke aja kalau kamu jadi pembaca, maksudnya apa
tulisannya pantas ngga dipost?
0 komentar:
Posting Komentar