“Rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat untuk keberhasilan di bidang apapun. Demikian pula halnya dalam menulis.” —Mary Leonhardt.
Nggak ada habisnya aku membahas berkali-kali tentang free writing/menulis
bebas. Apalagi di blog ini, rata-rata postingannya berbasis tulisan bebas yang
mungkin acak nyaris tidak bisa dibaca apalagi dipahami.
Beberapa hari yang lalu, setelah selesai membaca buku ‘biografi
Masyayikh Madrasah NU TBS Kudus’ tiba-tiba aku ingin untuk membaca bukunya
Beliau, Hernowo Hasim yang berjudul ‘Free Writing – Mengejar kebahagiaan dengan
menulis’ Kurang lebih seperti itu judulnya. Isinya tentang apa? Sudah
kelihatan, tentang motivasi semangat untuk menulis tanpa adanya beban.
Buku tersebut merupakan pemberian dari temanku, pesantren. Ia salah satu
teman yang memberi tahu atau mengajariku metode menulis bebas atau free
writing. —Aku masih ingat ketika kelas 9 MTs, sering menulis artikel acak yang
ditulis karena bimbangnya hati dan pikiran, dan cara penyampaian/penulisannya
khas anak kelas 3 SMA dengan kepengetahuan penulisan yang minim, sangat minim.
Ia memberi tahu metode menulis bebas dengan aturan utama 10 menit terus menulis
tanpa henti, meskipun ada typo, coret-coret, menulis kata-kata yang
nggak ada artinya (contoh: skwoaskdjwiashd asokdw) itu tetap dihitung.
Jadi free writing pada dasarnya menulis tulisan apapun, yang
penting aturannya ‘Jangan berhenti menulis sampai alarm berbunyi’. Peter Elbow
memberi aturan 10 menit, tapi ada beberapa cendekiawan yang menggeluti dunia
kepenulisan bebas mengatakan 5 menit, atau malah kurang. Intinya selama waktu
yang ditentukan, pena atau tangan tidak boleh berhenti mengetikkan tuts
keyboard atau menggoreskan tinta pada kertas. Ini berlaku ke semua platform
dari kertas, gawai, sampai laptop. —Masih ingat dulu aku membeli binder yang
ditujukan untuk menulis bebas, sampai nge-stok banyak kertas binder kosong demi
melampiaskan tulisan isi hati yang amburadul penuh drama.
Intinya jangan berhenti menulis, sampai alarm berbunyi.
Beberapa tulisan/paragraf yang masih tersimpan dalam laptopku, aku rekap
menggunakan aplikasi ‘Onenote’ tertera banyak sekali latihan free
writing yang aku jalani beberapa hari sekali. Atau mungkin kalau sedang mood,
sehari bisa sampai tiga kali. Tidak beraturan, meskipun menyeleweng dari aturan
main sebenarnya, tapi aturan mainnya tetap sama. Jangan berhenti menuliskan
kata-kata (meskipun tidak bermakna) sampai waktu habis.
Hikmahnya apa? Aku merasakannya ketika terjun ke dunia kampus,
perkuliahan anjay mabar.
Semangat dari mana? Aku bisa ingin membaca buku yang pernah khatam ini,
tapi ketika membaca lagi masih banyak informasi yang tertinggal terlewat dan
kebetulan aku membacanya dengan saksama dan mendapati ilmu yang seharusnya dari
awal aku terapkan. Yakni mengikat makna.
Kepenulisan yang sebenarnya, seperti post sebelumnya ‘Essay yang
Sebenarnya’ Memiliki poin penting. Adalah essay yang baik → sumber yang jelas,
gagasan yang jelas pula. —Jujur, menulis bebas kalah jauh dari nominasi essai.
Karena, hakikatnya menulis bebas/free writing bukan ditujukan untuk publik,
melainkan untuk diri sendiri. Malahan ada yang mengatakan menulis untuk
membuang.
Membuang apa? Membuang pikiran yang menjadikan sumpek sampai akhirnya
menyumbat ide untuk menorehkan kata-kata bermakna dan berkualitas.
Ibaratnya gini nih, kamu mau menggambar. Diawali dengan coret-coretan
acak atau sketsa kasar, yang nanti ketika kamu sudah dapat penggambaran
pose/imajinasinya lalu dilanjut dipertebal untuk semakin memperjelas objek yang
kamu gambar lagi. Terus-menerus kamu revisi, sampai akhirnya sketsa yang
tadinya oret-oretan nyaris ga jelas dilihat, menjadi ilustrasi/gambar/lukisan
yang indah enak dipandang.
Sama seperti menulis, untuk bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Banyak maknanya, enak dibaca pasti menjalani banyak filter demi revisi sampai
akhirnya jadi tulisan yang berkualitas. Nah tujuan dari free writing → Membantu
menghilangkan sumpeknya pikiran dengan membebaskan penulis/kamu untuk memuntahkan
segala hal yang mengakibatkan ide kalian tersendat.
Macam-macam sih. Misal kamu habis ribet sama pacar tuh ya, lalu kamu mau
nulis karena ada tanggungan tenggat tugas essay dan mepet banget. Kondisi bahan
materi sudah ada, tapi bingung mau nulis. Karena apa? Pikiran dah sumpek habis
ribet sama pacar. —Ya, solusi untuk saat ini. Buang dulu pikiran
over-thinkingnya untuk nanti pelangi bisa terlihat dan ide cemerlang pun tiba.
Masalah ribet sama pacar, nanti bisa diurus. Tapi yang lebih
penting/urgent saat itu adalah garapan essay, dan free writing cukup membantu
dalam membuang kesumpekan pikiran.
Selain diajarkan semangat untuk menulis, beliau pak Hernowo Hasim juga
menganjurkan kita/pembaca untuk membaca. Karena menulis bebas-pun kalau kurang
perbendaharaan kata, jadinya juga bingung mau menulis apa. Situasi beda lagi
kalau kamu/aku sering membaca meskipun sedikit demi sedikit. Pasti akan
mendapatkan kata-kata baru, istilah baru, menemukan tipikal tulisan yang enak
dibaca.
Beliau dalam bukunya, memperkenalkan membaca ‘ngemil’ Yakni membaca
laiknya memakan kacang goreng yang gurih. Disamping membaca, juga merasakan ‘kegurihan’
apa yang dibaca. Simpelnya menikmati dan mencermati apa yang dibaca, mulai dari
tanda baca, sampai istilah baru/asing yang muncul dalam teks yang dibaca
tersebut.
Membaca ‘ngemil’ ini ada kaitannya dengan mengikat makna. Ibaratnya gini
deh, kamu berburu di hutan. Setelah mendapatkan hewan buruan, itu hendaknya
diikat. Supaya hewan buruan tersebut nggak kabur. —Jadi ketika kamu/aku membaca
pelan-pelan (mencermati betul-betul), pasti menemukan ilmu baru atau istilah yang
mana eman/mboeman/sia-sia kalau tidak dicatat. Inilah mengikat makna.
Konsep mengikat makna diibaratkan sebagai berikut:
(Reading – Speaking – Listening – Writing)
Penggambarannya → Membaca santai, ngemil sedikit demi sedikit. Sembari
membaca diikuti dengan pelafalan intonasi yang sesuai dan dapat didengarkan
oleh telinga lahir. Hingga telinga lahir bisa mendengar dan tahu irama membaca
yang enak & bisa dipahami. Lantas setelah membaca yang sambil disuarakan,
diikatlah makna atau ilmu yang didapat dalam bentuk gagasan yang aku/kamu tulis
dengan gaya bahasaku/bahasamu sendiri.
Metode membaca seperti ini, pasti & mutlak makan waktu yang lama.
Makanya dinamakan membaca ‘ngemil’ karena sedikit demi sedikit, lama-lama juga
khatam. Penting tetep terus membaca meskipun satu halaman sekalipun, dan
mengikat isi kandungan/makna yang tersirat dalam tulisan tersebut. Sehingga
proses membaca menjadi menyenangkan karena paham apa yang dibaca.
Ketika aku mencoba menggunakan metode membaca yang seperti ini. Sehari
aku tidak nambah banyak halaman! Emang, karena aku dasarnya belum begitu suka
membaca. Masih berjuang untuk suka. —Tapi, membaca sedikit pun aku berusaha
mengikat maknanya meskipun kadang non-sense ketika awal membaca. Lalu coba aku
baca lagi, lagi, dan lagi.. sampai akhirnya gagasan pun muncul dan sontak
segera aku ikat dalam bentuk paragraf singkat atau catatan simpel. Membaca jadi
menyenangkan, karena tahu apa yang dibaca dan semangat untuk membaca itu ada.
Ok, mengikat makna usai. Mungkin ada tambahan lagi kedepannya. Aku Naufal,
dan aku seorang notetaker mengucapkan selamat karena kamu membaca sampai akhir
paragraf postingan ini wkwk.
Referensi:
Buku ‘Free Writing” karya Hernowo Hasim.
0 komentar:
Posting Komentar