U-20 dan Segala Questnya

Aku mengutip dari cuitan kakak tingkatku, mbak Lia. Dalam cuitannya ia bercerita, setelah mencapai usia 20 tahunan akan mencapai ranah di mana sering mengalah demi orang tua. Situasinya tertera, mbak Lia yang dilema akan aktivitas kuliah dan sebagainya.


Melalang buana, bisa diartikan cross the world. Mau tidak mau, aku juga merasakan hal ini. Tapi dengan konflik situasi yang berbeda juga. Bener-bener dilema dan mau bagaimana lagi?

Aku menyadari akan bakat aku dalam hal digital. Mungkin entah itu menulis, atau membuat konten yang mungkin ketika aku berada di luar rumah. Misal di kos, mungkin aku bisa lebih berkembang. Mungkin. Atau setidaknya aku bisa bertemu dengan komunitas, meski sering satu dua kali menghindar hanya karena alasan kelelahan.

Bukan begitu, aku merasakan seperti stuck. Maksudnya ide yang benar-benar stuck, karena ketika di rumah. Kondisi benar-benar berbeda, entah karena ketika di rumah aku sering merasa lebih useless dan belum worth. Masih perlu berkelana untuk mencari perlengkapan guna pulang memberi banyak oleh-oleh selamanya.

Oleh-oleh apa? Ilmu. Aku punya keinginan untuk mencapai strata tertinggi, membuktikan dalil dari Ibu bahwa aku memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang awalnya aku benar-benar tidak percaya. Tapi beliau Ibu memberikan banyak dalil kejadian yang aku anggap remeh, tapi bagi orang lain mungkin susah. Bagi aku ibarat gampang 'n remeh. —Banyak kejadiannya, hanya saja aku tidak tahu plus kurang bersyukur.

Disamping aku mengincar akademik, ada hal lain. Aku ingin ilmu yang aku pelajari bermanfaat, setidaknya kepada satu atau dua orang tidak masalah. Penting bisa manfaat dan ia paham apa yang aku sampaikan. Aku sudah seneng banget.


Setelah bulan Januari kemarin, aku genap mencapai usia kepala dua. Ini artinya aku harus dewasa yang benar-benar dewasa untuk ke depannya banyak rintangan aral melintang yang akan aku hadapi. —Mau nggak mau, ya harus mau 'n nekad. Namanya juga kehidupan.

Sampai di ranah usia 20 tahun, rasanya benar-benar transisi. Ini aku juga sempatt menceritakannya kepada temanku, mas Abi namanya.

Ia membenarkan ketika usia 20 tahun itu, adalah masa transisi. Di mana yang awalnya pubertas menjadi the real adult and all whole challenge will comes out and you can't out.

This is real, so that why. Aku harus berkembang.

Banyak perbedaan yang aku alami, mulai dari nggak semua masalah aku ceritakan kepada orang tuaku. Kebanyakan aku berusaha mendengarkan, menyimak. Kemudian mengambil hikmah dari cerita yang disampaikan oleh kedua orang tuaku. —Aku berusaha mengambil yang baik, tinggal yang buruk. Karena, semua orang punya kelebihan 'n kekurangan. Bagaimana cara kita mem-filter informasi yang diterima, menjadi suatu manfaat yang berguna kedepannya.

Dari thread yang dicuitkan oleh kakak tingkatku, ia menyinggung tentang berharganya arti waktu. Aku mengakui ini, waktu nggak bisa dibeli. Uang bisa dicari, tapi waktu.. nggak. Yang sudah berlalu ya sudah,

you can't retry or like you retire chronology to fix what you've done tho.

Aku tidak bisa kembali, ini ya ini. Harus dijalani, masalah masa lalu ya udah itu masa lalu. Nggak perlu dijadikan bahan overthinking. Tapi dijadikan pelajaran dan kisi-kisi bila ada tanda-tanda kejadian terulang.

—Wkwkw, aku sebenarnya tidak pede mengatakan hal banyak tadi. Apalagi ini aku nggak mengutip banyak sumber. Hanya satu, yakni referensi dari cuitannya mbak Lia. Kakak tingkat aku yang pernah men-distib-kan saya ketika PBAK, masa orientasi kampus heuheu.

Kesimpulannya, tambah usia maka tambah sadar dan tahu. —Karena nggak mungkin bergantung sama orang tua terus. Aku sering overthinking, kapan kuliah ini bisa selesai dan mencapai dunia kerja. Aku ingin membalas budi baik beliau beliau.

Sudah sudah, sudah cukup overthinking-nya. Sekarang ayo mengerjakan tugas uts. Heuheu

Hubungi aku melalui Twitter ✨@cdq__


CONVERSATION

0 komentar: