Mengklasifikasi Kelas Utama, Daring

 


Beberapa hari yang lalu, aku berusaha mengerjakan tugas kuliah. Ada banyak tugas, tapi yang sengaja ingin aku sorot adalah yang satu ini. Klasifikasi.


Kenapa disebut klasifikasi? Cara gampangnya seperti ini, klasifikasi-classification-class-kelas-kelompok. Jadi mengklasifikasi adalah mengelompokkkan atau meng-kelaskan, karena yang aku riset adalah berhubungan dengan koleksi keperpustakaan maka yang aku klasifikasi/kelaskan adalah berkaitan dengan koleksi perpus (bisa buku, bisa manuskrip, atau yang lainnya. Aku akan membahas detilnya tentang jurusan ilmu perpustakaan nanti).

Semenjak masuk jurusan ini, aku menyadari betapa susah payahnya para pegawai pustakawan dalam mengelompokkan buku-buku dan koleksi lainnya di perpustakaan. Kenapa bisa begitu? Ya karena memang susah. Tergantung buku dan kelengkapan atribut buku.


Maksudnya?

Jadi, setiap buku itu pasti memiliki atribut. Seperti judul, nama pengarang, penerbit, nomor ISBN atau ISSN, atau mungkin beberapa statemen pertanggung jawaban atas diterbitkannya buku tersebut.

Bagi orang awam atau yang sekedar membaca buku sak-rasan, itu adalah hal yang biasa. Mungkin tidak begitu diperhatikan, cenderung memperhatikan judulnya apa, siapa pengarangnya, lalu isinya gimana. Kalau bagus langsung trabas beli atau dipinjam bila ada di perpus.

Namun untuk seorang pustakawan, khususnya petugas perpustakaan. Bukan hal yang remeh. Atribut tersebut sangat penting, bahkan pengalamanku ketika mengelompokkan buku… rasanya ingin menangis ketika ada buku yang tidak memiliki atribut lengkap.

Misal; tidak ada penerbitnya, nama pengarangnya banyak lebih dari tiga (karena menulis nama pengarang yang lebih dari tiga, itu ada rumusnya sendiri), detil kondisi fisik tidak tertera (seperti ukuran buku, total halaman)

Ketika dihadapi situasi pas meng-klasifikasi buku tersebut, maka kudu cari referensi… entah itu dari internet atau dari perpus lainnya. Yang sekiranya punya informasi lengkap.

(padahal tah, biasanya orang nggak memperhatikan sedetil itu. Cari buku, nggak ketemu. Lalu tanya petugas :v nggak pakai katalog. Padahal bikinnya weleh… kudu—)


Proses mengklasifikasi buku dilakukan satu per satu. Kecuali kalau bukunya sama. Jadi kemarin, beberapa hari yang lalu aku mengerjakan tugas klasifikasi. Yakni melakukan analisa subjek & disiplin ilmu untuk menentukan nomor klasifikasi utama pada 144 judul buku.

Yes, 144 judul buku. Itupun hasil kontribusi dari teman-teman kelas, tiap mahasiswa mengajukan 3 judul buku. Entah itu ambil dari mana terserah, intinya kontribusi judul buku yang nyata (bisa di-search di internet).

Lalu melakukan analisa judulnya, dan mulai memperkirakan… buku ini termasuk apa, isinya bagaimana, termasuk kategori apa, siapa pengarangnya, dan lain-lain.

Ketika dicontohkan bisa tergambar sebagai berikut

(semoga saja, itu bener :v karena klasifikasi itu butuh perasaan :v)


Tapi mau nggak mau, memang butuh perasaan. Ya, bisa kalian bayangkan… menganalisa buku tapi belum menyentuh bukunya langsung. Cukup epic ggwp :v maksudku ya, nggak logis bisa tahu isinya tanpa ketemu dan interaksi langsung gitu.

Ya, sekarang gini. Aku suka sama orang, ingin tahu apa yang ia sukai, ia pribadinya seperti apa dan seterusnya. Maka yang harus aku lakukan adalah, bertemu melakukan interaksi. Entah itu njagong atau berbincang sesuatu.

Beda kalau hanya sekedar daring, chatting. Karena feedback-nya nggak jelas. Jadi proses komunikasinya itu seolah nggak jujur.

(ok, kenapa aku malah membahas itu)


Mengklasifikasi berbasis daring, jujur itu benar-benar memberikan tantangan tersendiri. Menuntut untuk tahu sedangkan belum bernah bersua bertemu. Adalah suatu keajaiban bila akhirnya 144 judul yang aku kelas klasifikasikan tersebut ternyata akurat.

So, over all. Thank you Den e.

All whom supporting me to with all these effort. Thank you 

 

CONVERSATION

0 komentar: