Pansos (terkadang) Itu Perlu



Kita, aku hidup di dunia sosial yang saling terhubung dengan internet. Di mana informasi dapat tersebar dengan cepat. Oleh karena itu aku harus terbiasa dengan hal-hal baru yang awalnya menurutku tidak sesuai dengan sifat & kebiasaan. Tulisan/post ini berisi tanggapan-opini yang disampaikan dengan rasa kaget/tidak percaya. Namun bagaimanapun harus menerima realita. Jadi selamat membaca.

Sekali lagi, kita hidup di dunia sosial. We live in society, pernah mendengar kalimat meme tersebut? Biasanya dikaitkan dengan karakter Joker yang kalau tidak salah dia merupakan korban sosial yang diasingkan, dikucilkan dengan kata lain di-bully oleh sosial. Yah memang benar, manusia merupakan makhluk sosial. Apa lagi zaman sekarang semuanya sudah saling terhubung dengan internet. Tiada hari tanpa internet, update status, atau membaca informasi yang didapat dari media sosial tersebut. Bahkan di jurusanku sampai ada mata kuliah sendiri yang menerangkan tentang etika ber-mediasosial. Materinya kurang berisi tentang bagaimana

  • Mencari
  • Mendapatkan
  • Membuat
  • Membagi

… informasi kepada masyarakat. Hanya saja konteks pembahasan berkaitan dalam hal sosial yang diartikan sebagai dunia internet.

Apalagi kalau sudah menyangkut dunia internet, media sosial. Aku sering mendengar informasi yang dikaitkan dengan istilah ‘viral’, biasanya ditujukan agar informasi tersebut dibuat, dan disegerakan audien mengetahui informasi tersebut secara massive untuk tujuan tertentu. Namun sayang, sebagian besar informasi yang aku dapat dari media sosial kevalidasiannya perlu dipertanyakan lebih lanjut.

Berbicara tentang media sosial pasti sudah mendengar istilah pansos? Atau pencitraan sosial? Untuk yang sering bermain Facebook/Instagram/Twitter atau media sosial lainnya pasti tahu.



Apa itu Pansos?


Merupakan singkatan dari panjat sosial. Suatu proses/aktivitas yang dilakukan oleh seorang warganet supaya menarik perhatian kepada warganet lainnya. Dinamakan panjat sosial karena diibaratkan seorang warganet tersebut berusaha untuk memanjat pohon secara paksa untuk meraih buah yang disebut ‘sosial’. Jadi tujuan memanjak pohon adalah untuk mendapatkan buah (sosial) tersebut, tidak kurang tidak lebih.

Penjelasan lain mengatakan pansos adalah suatu usaha seorang untuk mencari perhatian dari masyarakat (dalam bahasa Inggris bisa diartikan social atau sosial) supaya cepat dikenal-terkenal. Karena zaman sekarang internet sudah hal yang wajar, maka istilah pansos sering dikaitkan dengan orang yang mencari-cara apapun untuk dapat terkenal di media sosial. Mereka menggunakan cara apapun, tidak segan-segan berbuat apapun untuk mencapai ‘views’ tertentu sebagai bentuk kepuasan-pencapaian tersendiri. Kalau bahasannya dalam lingkup sempit seperti YouTube, maka tujuan pansos adalah mencapai total views (tontonan, karena YouTube kontennya dalam bentuk video) tertentu.

Tindakan panjat sosial umumnya dapat berupa

  1. Informatif
  2. Promosi
  3. Sekedar cari sensasi

Wajarnya mencari audien ditujukan agar informasi yang kita sampaikan cepat tersampaikan, maka strategi tersebut merupakan pansos.




Namun sayang, pansos di zaman sekarang sering diidentifikasikan dengan tindakan yang berujung negatif dari segi luar maupun dalam. Kualitas konten di zaman sekarang menurun dikarenakan content creator bertujuan untuk mencari audien, bukan untuk membagikan informasi yang bermanfaat atau berguna kepada audien lain. Zaman sekarang, pansos cenderung identik dengan caper atau cari perhatian. —tidak sedikit warganet yang sering membuat huru-hara di media sosial walaupun hal sepele, karena tujuannya untuk mencari perhatian dari warganet lain sehingga menaikkan traffic melalui audien tertarik menonton/membaca/membagikan konten yang dia buat.

Sejujurnya aku tidak terlatih untuk berbuat hal tersebut. Mengapa aku bisa mengatakan hal tersebut? Pernah suatu ketika aku sedang melakukan live stream di salah satu kanal sosial YouTube, ada penonton yang berkomentar tentang thumbnail yang aku gunakan sebagai pratinjau sekilas adalah gambar yang itu-itu saja,

“Bang, thumbnail-mu kok tidak kamu ganti. Itu-itu saja?”

Thumbnail dalam istilah YouTube diartikan gambar yang merepresentasikan isi konten atau video yang hendak muncul sebagai perwakilan gambar utama. Biasanya para YouTube mendesain gambar thumbnail sebagus mungkin —atau malah bisa dikatakan se-clickbait mungkin. Tujuannya apa? Kembali lagi pada statemen di atas, yakni agar audien melirik informasi (konten) yang dibuat.




Melalui gambar thumbnail yang representatif atau atraktif (biasanya) akan memicu/mengundang warganet yang kebetulan sedang bermain YouTube untuk menonton isi video atau live streaming yang kebetulan lewat dalam algoritma suggestion YouTube, sehingga ketika pengguna terpicu untuk meng-klik & menonton maka proses promosi bisa dikatakan sukses. Melalui pansos tersebut.

Namun sayang, aku belum bisa melakukan trik tersebut untuk menunjang audien agar menonton konten di channel YouTube-ku. Rasanya tidak enak menggunakan kalimat cenderung ‘menipu’ audien atau malah menggunakan gambar atraktif yang intinya agar audien/warganet untuk meng-klik konten yang aku buat. Bila kalian perhatikan, judul video di YouTube-ku benar-benar datar atau hampir tidak ada sensasi.

Melalui sikapku dalam ber-internet sosial memilih netral, tidak mencari-memancing perhatian, tidak ‘menipu’ menarik audien dengan kalimat atau konten tertentu ternyata berdampak pada salah satu proses yang sedang aku alami saat ini.

 



Pansos Ternyata Diperlukan


Dalam ber-medsos, contohnya Twitter atau Instagram misalnya aku hanya melakukan update untuk hal-hal penting atau promotif sementara kecuali peristiwa yang memorable. Ketika aku mengalami peristiwa yang bersejarah bagi aku, maka langsung aku abadikan di salah satu media sosial yang aku gunakan. Namun bila berkaitan dengan tindakan yang bantu-membantu, rasanya tidak nyaman aku upload ke medsos dengan caption-caption khas. Simeplnya aku kurang pansos, ujar salah satu penonton yang memberi masukkan ketika live stream.

Melalui aku yang kurang pansos tersebut mengakibatkan audien tidak mengenal aku. Catatan: ini bukan dalam konteks YouTube atau hal entertain lainnya, melainkan suatu proses yang sedang aku alami. Aku jarang membuat konten atau mengunggah foto/momen ketika melaksanakan suatu hal yang berkaitan dengan ‘bantu-membantu’. Akibatnya banyak orang yang tidak mengenal aku, dampaknya nilai kepercayaan terhadap aku berkurang atau diragukan sama sekali.

Alasan aku tidak mengunggah ke media sosial dalam konteks ‘bantu-membantu’ adalah rasa tidak nyaman yang timbul ketika mengunggah foto/video/konten yang berisi aku sedang membantu seseorang. Kesannya seperti pamer.


Aku Salah Menilai


Dahulu aku menilai orang ber-pansos adalah tindakan melapor tindak kebaikannya terhadap orang lain, atau kepada warganet secara tidak langsung. Pansos yang aku bicarakan adalah panjat sosial dengan kedok tindakan kebaikan. Contohnya konten yang berisikan menyumbang sesuatu, memberi sesuatu, atau bahkan sampai melaksanakan suatu kebaikan kecil pun menurutku termasuk. Dengan syarat hal tersebut diunggah ke media sosial.

Sampai-sampai ketika aku melihat orang seperti itu secara langsung, rasanya risih. Berbuat baik, kemudian dilapor ke publik? Pahalanya ke mana?

Kemudian aku disadarkan kepada realita, suatu keadaan di mana pansos terkadang diperlukan sebagai ‘bukti’, validasi bahwa aku/kamu/kita benar-benar melakukan kegiatan tersebut. Sekali lagi (aku perjelas) sebagai bukti, dengan kata lain untuk laporan. Seolah-olah mengatakan,

“Ini, aku sudah melakukan hal ini. Buktinya ini, dan itu.”

Dari bukti-bukti tersebut nilai kepercayaan meningkat. Tentunya untuk tujuan yang lebih serius, bukan menarik audien.

 



Menggugah Kegiatan ke Media Sosial, Tidak Selalu Berarti Pansos


Contohnya

  • Apa-apa cekrek, upload
  • Baca, rekam, posting
  • Setelah melaksanakan sesuatu, rekam, posting, lapor

Zaman sekarang, aku harus bisa membedakan. Konteks mana yang berkaitan dengan pansos, sharing biasa, atau post untuk tujuan melapor. Memang sulit membedakan, karena tempatnya sama-sama media sosial —tetapi hakikat dari konten yang dibuat itu berbeda. Ya, yang jelas bisa membedakannya dilihat dari niat content creator tersebut.

Konten dapat dikatakan pansos atau tidak adalah dari cara penyampaiannya. Dari sini aku merasa bersyukur prodi Ilmu perpustakaan ada mata kuliah ‘Informasi Dalam Konteks Sosial’ tahun kemarin, sehingga aku dapat belajar bagaimana membuat status atau konten yang bertujuan informatif, laporan, atau hanya sekedar share untuk tujuan mengabadikan.

 

Sekali lagi,

we live in society. We can wear mask anywhere we want.

pansos terkadang perlu, when we do amount certain activity.


CONVERSATION

0 komentar: