Wkwk. Nggak, maksudku.. aku mau membahas tentang kuliah. —Bayangkan, mahasiswa yang nggak ikut organisasi apapun, mau bahas tentang kuliah coba. Memang tahu apa kamu? Sudah punya pengalaman apa kamu?
Belum
kak.
Layo, kok
mau malah bahas-bahas kuliah. Kamu ki tahu apa?
Tahunya nge-game
:v
Ini
tanggapan tergantung banyak versi. Jadi, aku berusaha keras untuk mengambil
sikap moderat. Yang sering dilontarkan oleh orang yang.. bisa aku katakan beruntung
dan mungkin really chill sampai akhirnya yang nulis ini ke-trigger.
Kemudian menjadikan bahan keresahannya jadi tulisan. —Nggak, maksudku aku
sedang melatih skill menulisku. Setidaknya aku bisa mengekspresikan pikiran
dalam bentuk tulisan yang bisa dipahami (entah ini bisa atau nggak).
—aku
teringat materi yang disampaikan oleh Ibunda Labibah. Dosen kami, yang mengajar
dua mata kuliah penting. IDKS & English for Librarian. Di antara materi
yang beliau sampaikan adalah, mengenai Knowledge Management. Yang penjelasannya
kurang lebih seperti bisa memberikan informasi yang tertulis atau dapat
dipelajari.
Ibaratnya bisa
menjabarkan informasi yang awalnya tersimpan dalam pikiran, mindset.. kemudian
dijabarkan dalam bentuk infografis yang mudah dipahami. Salah satunya beliau
memberikan tugas kepada kami untuk mencari informasi tentang suatu keahlian. Aku
pahamnya itu ibarat keahlian atau suatu kepandaian. —Di mana kemudian kita
yang mewawancari orang yang ahli dalam suatu bidang, untuk menjelaskan. Lalu
kita sebagai reporter kemudian berusaha menjabarkannya dalam bentuk
infografis atau informasi, tulisan yang bisa dipahami dan dipelajari.
EZ.
Kembali ke
topik, Kuliah penting atau tidak?
Tergantung,
depend. Aku bisa mengatakan seperti ini, karena nggak semua orang memiliki
pemikiran yang sama. Karena aku sering ketemu, nggak satu dua kali— mungkin
tiga kali lebih. Ada mahasiswa yang kuliah di suatu universitas itu dengan
niatan untuk mencari title atau medal (baca;sarjana) Karena suatu alasan
akademis.
Kalian
tahu, mungkin seseorang memerlukan medal sarjana agar dirinya diakui dalam
suatu komunitas. Percaya atau tidak, nyatanya banyak di dunia lapangan kerja
yang sering memandang medal lulusan dari mana? IPK-nya berapa? ..
dan seterusnya.
—Intinya
poin akademis merupakan hal yang penting.
Namun, ada
juga yang kuliah. Tapi dengan niatan dari pada di rumah ngapain.
(what do
you mean, dari pada di rumah ngapain?)
I mean
really, maksudku ini seriusan. Aku yang masuk di dunia perkuliahan dengan
segala hal yang bener-bener berjuang menurutku. Terima kasih atas kedua
orang tuaku yang memberikan support dan membuktikan bahwa aku bisa kuliah. —merasa
seperti, “kamu kurang bersyukur.”
Banyak di
luar sana, yang benar-benar ingin kuliah. Tapi karena kendala akademis lainnya,
atau malah ekonomi sehingga cita-cita mereka harus ditunda. Atau mereka harus
mencari jalan sendiri, dengan usaha mereka sendiri.
Ibaratnya,
kalian yang keterima di suatu universitas. Itu artinya kalian sudah mengalahkan
banyak peserta yang ingin dan mendaftar di universitas tersebut. —this means, you are winner. Kamu
adalah pemenang, yang lolos masuk dan dinyatakan layak memegang label sebagai
seorang mahasiswa.
Seriusan,
aku mengetik dan menulis ini rasanya insecure dan tidak yakin. Karena
state/kondisinya saat ini aku tidak mengikuti/join organisasi apapun. Mungkin
hanya sekedar relawan yang aku fokuskan, itu saja. Tidak lebih.
Kuliah itu
penting. Karena kuliah itu tidak gratis. Maksudku, biaya. —Jujur, dahulu sebelum
aku masuk di dunia perkuliahan. Aku sering menyepelekan masalah sekolah,
sehingga tidak jarang aku mendapatkan nilai merah. Ini nyata.
Di samping
aku mendapatkan nilai merah, aku juga gagal dalam hal lain pula. Ibarat
peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sekolah ibaratnya merah-merah,
ditambah yang lain juga ambruk. Damage dobel-dobel.
… Sejak
saat itulah, aku dinyatakan lolos pada ujian mandiri tahap terakhir,
pertambahan waktu. Aku mengaku dan harus serius, benar-benar serius.
Semangat
kendor? Berkali-kali. Tapi ada yang bikin mengencang, ibaratnya moodbooster.
Apa itu?
Orang tua.
“kuliah
dibikin santai, karena yo ngono-ngono wae. Santai tah.”
Ok, let’s
chill. Maksudku,
aku sering misunderstand dengan joke seperti itu. Ini karena dolanku
kurang adoh, melekku kurang bengi, kopi ne kurang pahit. Wkwkw, peribahasa yang
sering dilontarkan kepada orang yang nolep, jarang melihat dunia luar.
Aku
berusaha meluruskan, maksudnya memandang dari sisi yang lain. Persepsi kuliah
yang terbilang santai, itu seharusnya tidak boleh diterapkan kepada siapa saja —
harus memandang orangnya dulu. maksudnya ki ibarat tahu porsi.
Misal yang
menjadi lawan bicara adalah seorang mahasiswa yang berjibaku bertahan solo
dalam perkuliahan. Sedangkan ia memiliki problema masalah ekonomi, atau keluarga
—yang mana ia harus berjuang sebagai penentu estafet ekonomi keluarga.
Ya so
pasti, ia nggak mungkin menjalani perkuliahan dengan main-main.
Nggak bisa
disamakan, berbeda. Meski kesannya hanya joke atau bercandaan belaka.
Tapi kalau tidak memberi solusi, hanya bilang-bilang santai wae ya non sense.
Rasanya kek anjlok gitu. Dibantu diberi solusi, atau tidak diam.
Tapi
statemen ini, mungkin tidak berlaku. Atau malah ditentang pada beberapa orang
yang suka santai atau punya pribadi yang apa-apa nggak dibikin serius. Punya
prinsip, santai penting kelakon.
“kamu nulis
ini karena kesel? Kamu sering dibilang seperti itu?”
“sejujurnya
nggak kesal. Tapi aku ingin menjelaskan bahwa. Aku kuliah itu dengan ragat/uang
yang tidak murah. Sedangkan aku adalah anak pertama, laki-laki pula. — Aku
harus memikirkan masa depanku sebisa mungkin.”
“lalu
kenapa nggak ikut ormas? Dan lain-lain?”
“aku punya
faktor x yang menyebabkan nggak ikut. Dan itu juga menyangkut ke perkuliahan.”
Jadi, dari
beberapa komentar yang terlontar. Melihatku menjalani kuliah dengan serius yang
sering over. Aku belajar. Bahwa nggak semua orang sama. Yang mengatakan
seperti itu, di lain sisi —ia sudah memiliki perusahaan yang diwarisi oleh
keluarganya turun-temurun.
Atau malah
yang mengatakan kalau kuliah ini hanya hiburan belaka.. nyatanya di rumah ia
memiliki masa depan yang sudah terstruktur sejak dini. Dan seterusnya.
Aku
tidak memiliki turunan orang istimewa. Aku orang biasa, dan aku harus berjuang.
Meski harus sendiri/solo ya itu resiko. Makanya, sudah itu dikorbankan. Sisi
ini ya tidak boleh. Aku harus berjuang. Bisa bisa. Aku bisa. —Iruma Nafian, (Minecrafter 2020 –ongoing)
Sekian,
tidak mudeng? Sama :v setidak e aku nulis.
Aku Naufal,
aku seorang notetaker. See you later, and try hit me contact on twitter!
0 komentar:
Posting Komentar