Mengingat semangat

Jauh sebelum aku menulis, mindset tentang “Buat apa aku menulis di sini? Tidak ada siapa pun yang melihat ataupun membaca, muspro!” itu sudah tertanam dalam pikiran dan hati. Namun nyatanya aku tetap memaksakan itu, kali ini aku menggunakan kembali menerapkan metode tentang ‘menulis untuk membuang’ yang pernah disampaikan oleh Peter Elbow dalam buku Free Writing yang pernah aku baca ketika masih duduk di jenjang SMA atau sederajat.

Tujuan dari aku menulis (kali ini) adalah untuk membuang, maka tulisan ini boleh jadi tidak berguna atau bermanfaat. Kembali lagi bahwasanya aku menulis untuk membuang dan bukan untuk dibaca. Sedangkan tempat seperti blog atau catatan pribadi walau platform-nya daring sekalipun, tetapi kalau tidak ada yang membaca maka ‘muspro’ adanya. Kalaupun misal tulisan ini kamu temukan di daring, maka statemen yang aku sampaikan di paragraf pertama telah patah.

Sampai sekarang aku masih ingat, dahulu aku sering menulis bebas di internet. Walau platformnya termasuk dark web. Tapi pengertian dark web di sini bukan berarti situs yang hanya bisa diakses menggunakan software yang menggunakan simbol bawang. Dark web dalam konteks ini bahkan banyak dijumpai, malah kamu mungkin juga pernah atau sering menggunakannya. Yakni platform atau suatu tempat di internet yang ‘mungkin’ hanya kamu yang bisa mengaksesnya atau menggunakannya. Walau secara hierarki ada yang ‘mengelola’ atau semacam guardian agar server tersebut tetap berdiri, tetapi kamu dapat menggunakannya dan merasa ‘aman’ bahwa data atau informasi yang kamu berikan atau simpan tidak hilang atau dibocorkan. Layaknya olah pesan di Whatsapp yang menggunakan enkripsi End to End atau sejenisnya, sehingga kamu merasa yakin bahwa informasi atau data yang ditransfer atau di-‘pasrah’-kan hanya kamu seorang dan lawan bicara (bila saling mengirim pesan/informasi) yang tahu.

Lagi membahas tentang menulis untuk membuang. Aku masih ingat betul, dahulu kala ketika aku yang masih polos dan pemula dalam menulis. Bisa dikata, ‘bego’ dalam menulis tetapi memiliki jiwa optimis yang membara dan tetap menanamkan mindset “Tulisanku bagus” dengan penggambaran logika “Menulis itu seperti memasak, tidak semua orang harus menyukai, selera, ataupun doyan dengan masakanmu. Bahkan kemungkinan besar ada juga yang alergi. Maka semua hal tersebut harus ditoleri.” hasilnya sampai sekarang aku banyak menjumpai tulisan atau coretan aksara di mana-mana. Mau di buku, secarik kertas, di mana saja selagi media tersebut bisa menempel dengan tinta. Malah kalau medianya internet, lebih banyak lagi. Bagaimana bisa aku menempuh sampai sepuluh ribu cuitan (kalau sekarang, namanya post) di X (dahulu namanya Twitter), sedangkan aku tidak memiliki banyak mutual? Kalau diingat betul, aku membuat akun Twitter dahulu tujuannya adalah untuk melatih kepenulisan yang masih cakar ayam. Mungkin sekarang belum ada perkembangan yang signifikan, masih sama aja. Padahal kalau ditimbang mana bahaya-tidaknya, lebih bahaya menulis di internet karena jejak digital yang diunggah secara publik itu sulit untuk dihapuskan.

Ya mana sampai mikir sampai situ, yang penting menulis! Tidak peduli apakah ada yang membaca ataupun tidak. I have no shit to think someone that will read this pile of sheet. Begitulah, sama sekali tidak ada halangan, ataupun pikiran bahwa tulisan akan dibaca atau dikomentari sehingga mengakibatkan optimisme dan kreativitas tanpa batas. Bahkan aku pernah menisbatkan nama ‘Rabiib al Aqlaam’ yang berarti anak tirinya pena. Aku sampai pernah menisbatkan diriku sebagai anaknya pena. Benar-benar di luar nalar, ya memang gila. Keseruan dalam menulis sudah pernah aku rasakan.

Apakah kamu bisa membayangkan seorang anak menulis novel setebal.. yang tebalnya memerlukan dua binder untuk menampung puluhan (mungkin sampai seratus) kertas yang berisi torehan aksara dengan tulis tangan. Ya, itu sulit dipercaya tetapi benar adanya. Sampai sekarang artifak tersebut masih eksis di kamar kos, semoga saja tidak dimakan rayap. Namun akankah keseruan, kegilaan, kegirangan dalam menulis tersebut dapat kembali menyala-membara?

Tiap kali aku mengingat kenangan yang dulu, kepalaku sakit. Bukan karena pening atau mengingat kenangan yang kering, tetapi dalam otak akan timbul pertanyaan “Mengapa kamu/aku sekarang tidak seperti itu?” Di mana aku yang dulu, yang optimis dan antusias dalam menorehkan tinta, mengetik keyboard entah menulis apa tidak peduli. Selalu percaya diri dengan tulisan yang diunggah, walau ketika orang dibaca mungkin akan ada komentar “orang ini nulis apa dah?”.

Mulai ditulis tanggal 11 Oktober 2023, diselesaikan esok harinya.

Bertempat di Perpustakaan.

CONVERSATION

0 komentar: